Teroris Masjid

Lantunan salam penanda akhir shalat terdengar lirih. Beda dari biasanya, kali ini sang imam membalikkan tubuhnya menghadap jamaah. Sembari berdzikir, ia mengamati para jamaah yang ada. Nampak keterkejutan dari bola matanya yang kian redup. Jamaah yang hanya beberapa gelintir orang, itupun terdiri para orang tua yang sudah sangat sepuh. Tiada remaja, apalagi anak-anak. Keprihatinannya kian menyiksa ketika menyadari masjid yang semegah dan seluas ini sepi-sunyi laksana kuburan.

Tiada tawa-canda anak-anak. Tiada terdengar cekikikan mereka ketika shalat. Tiada jeritan dan tangisan ketika mereka bertengkar. Tiada suara nyaring mereka melafalkan iqra bada Magrib. Tiada terlihat mereka berlarian dan berkejaran melewati shaf shalat atau mengelilingi pilar masjid.

Tiba-tiba lafal dzikirnya terhenti. Ia teringat akan suatu masa tertentu. Ia teringat akan sosok masa lalu yang raut mukanya menakutkan dan perawakan tubuhnya yang angker. Matanya yang selalu melotot. Mulutnya yang sering mengumpat. Tangannya yang sering menjewer. Jari-jemarinya yang sering menjewer. Gagang sapu ijuk atau surbannya yang selalu siap untuk memukul.

***

Kumandang adzan Maghrib bergema ke seantero dusun. Sebuah panggilan dari Tuhan agar orang-orang beriman bergegas ke masjid untuk shalat berjamaah. Dari sebuah rumah tak begitu jauh dari masjid, terdengar keributan kecil antara ibu dan anaknya. Si ibu terlihat sedang mengomel kepada anaknya yang masih asyik bermain.

“Ayo Le, segera ambil wudhu!”, perintah si ibu sembari menarik-narik tangan anaknya.

“Tidak mau Mbok. Aku tidak mau ke masjid. Aku shalat di rumah saja”, tolak si anak sambil meronta-rota berusaha melepaskan tangannya dari ibunya.

“Lebih baik ke masjid Le, karena kalau berjamaah pahalanya dua puluh tujuh kali lipat.”

“Pokoknya aku tidak mau ke masjid!” pekik si anak cukup lantang

“Jangan membantah, sekarang juga kamu mesti ke masjid”, sergah si ibu diikuti tarikan yang lebih kuat pada tangan anaknya.

Terjadilah tarik-menarik antara si ibu dan anaknya. Saking kuatnya tarikan tangan si ibu, hingga membuat si anak jatuh terjengkang dan kemudian si anak menangis keras. Mendengar keributan menjelang iqamat itu, si ayah datang untuk menengahi. Si ayah mencoba menanyai si anak mengapa ia tak mau pergi ke masjid, ia hanya diam menunduk. Ketika semakin didesak, si anak hanya menggeleng-geleng. Sedangkan si ibu mengatakan kepada suaminya bahwa anaknya memang bandel dan susah diatur.

Si ayah tidak membela siapa pun. Akhirnya ia segera menuju ke masjid karena iqamat telah dilantunkan.

***

Pakde Pete, itulah julukannya. Nama aslinya adalah Abdul Hamid. Karena di dusun pekerjaannya adalah nebas[1] petai, maka julukan itulah yang lebih sering disebut orang. Menjelang iqamat di masjid, ia selalu sudah berdiri di dekat pintu mengawasi semua anak-anak yang mau ikut shalat berjamaah. Ia berdiri dengan kaku, wajahnya tegang dan tampak seram. Bola matanya liar menatap ke sekeliling ruangan masjid.

Lantunan shalawat dan puji-pujian menggema lewat Toa di menara masjid. Sebagian anak-anak sudah berbaris rapi menunggu iqamat. Mereka berbisik-bisik satu sama lain dan sesekali melirik ke arah Pakde Pete dengan mimik ketakutan. Tak jarang pula, mereka melihat ke arah Pakde Pete dengan senyuman mengejek.

Beberapa anak yang lain berlarian dan kejar-kejaran di ruangan masjid. Seketika itu juga, Pakde Pete langsung mendamprat mereka dengan keras. Mereka pun berhenti berlari dan duduk dengan penuh ketakutan. Tak berapa lama, ada saja anak-anak yang berlarian. Ketika lewat dekat pintu, secara spontan Pakde Pete menyabetkan surbannya ke anak-anak itu. Melihat hal itu, anak-anak lain yang datang tak berani melewati pintu yang ada Pakde Pete, mereka memilih pintu lainya untuk masuk ke masjid.

Kini, jamaah shalat telah dimulai. Pakde Pete masih berdiri garang di belakang shaf untuk mengawasi anak-anak. Ketika ada anak-anak yang masih nolah-noleh, ia segera menjewernya. Ketika ada anak-anak yang tak segera menempati barisan shaf, ia menyabetnya dengan surbannya. Dan ketika ditemui ada anak-anak yang masih berlari-larian, ia mengejarnya dan pukulan penuh emosi melayang kepada mereka.

Barulah menjelang ruku’, Pakde Pete menempati barisan belakang dan mengikuti jamaah shalat. Dalam shalatnya pun, ia tak bisa tenang. Ternyata anak-anak masih saja berisik, nolah-noleh, mengobrol, bahkan berpindah-pindah shaf. Pakde Pete tak bisa khusyu, ada kedongkolan akut di dalam jiwanya. Baginya waktu salam terasa begitu lama, karena ia sudah tak tahan untuk memarahi mereka.

“Bisa diam tidak kalian!” bentaknya ketika usai salam.

Hampir tiap ba’da shalat Pakde Pete selalu mengomel dan berteriak. Seringkali suasana dzikir dan doa terganggu karena ulahnya. Sebenarnya, para jamaah lain merasa tak nyaman atas tindakan Pakde Pete yang dianggap sudah berlebihan. Tapi mereka sungkan, karena selain Pakde Pete merupakan sesepuh, tanah masjid ini merupakan wakaf darinya.

Sekalipun omelan, umpatan, teriakan, maupun pukulan dari Pakde Pete terus mengintai anak-anak, mereka tetap saja ramai dan berisik. Mereka hanya mau diam dan tertib sesaat saja, setelah itu kembali ke semula. Anak-anak menganggap masjid tak berbeda dengan halaman rumah, kebun, atau lapangan sehingga mereka bisa bermain sesuka hati. Di waktu dzikir dan doa, waktu belajar mengaji, waktu adzan, teriakan dan keceriaan mereka tak pernah berhenti.

Saking seringnya diomelin, anak-anak pun semakin kebal dan terkadang pandai bersiasat. Ketika shalat, mereka mencari tempat yang paling pojok atau paling belakang. Tak jarang mereka kucing-kucingan dengan Pakde Pete. Atau mereka sengaja berisik ketika melihat Pakde Pete sedang shalat sunnah. Bahkan, keberanian anak-anak mulai muncul. Mereka menjulur-julurkan lidah mereka pertanda penghinaan ketika mereka diomelin. Atau mereka sengaja ramai dan ketika diomelin, mereka langsung lari, dan dari jauh mereka joged-joged menghina Pakde Pete.

***

“Kalau rame terus mending tidak usah ke masjid!” bentak Pakde Pete dengan keras dan kasar, ketika selama shalat berjamaah ia mendengar anak-anak berisik tiada henti, pada suatu malam. Sepertinya emosi dan kekesalannya telah mencapai puncaknya kali ini.

Sekalipun masih anak-anak, mereka juga mempunyai hati. Salah satu dari mereka melaporkan kepada orang tuanya.

Akhirnya si orang tua terhasut juga. Ia menemui Pakde Pete dan melakukan protes.

“Daripada mengganggu kekhusyukan beribadah, lebih baik mereka di rumah saja”, bantah Pakde Pete memberi alasan.

“Tapi tidak begitu caranya Pakde. Mengingatkan anak-anak harus pelan-pelan dan dengan cara yang lembut”, sangkal si orang tua.

“Dikerasin saja mereka tak menggubris apalagi dengan lemah-lembut”, sahut Pakde Pete masih membela diri.

“Namanya juga anak-anak Pakde, kalau dikeras terus mereka malah semakin membandel. Kita harus sabar mendidik mereka”

“Kalau bapak tidak suka, anak bapak boleh pindah ke masjid lain!” gertak Pakde Pete tegas.

Si orang tua terperanjat. Mulutnya ternganga. Ia tak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu. Apakah Pakde Pete belum pernah memiliki anak atau cucu. Apakah Pakde Pete juga tak pernah berpikir bahwa anak-anak inilah nantinya yang akan menjadi generasi penerus atau pewaris masjid ini.

 

Kabar protes si orang tua kepada Pakde Pete segera menyebar. Orang-orang dusun mempergunjingkannya. Pro-kontra menjadi opini keseharian baik di masjid maupun di kampung. Suasana masjid menjadi panas dan tegang. Banyak yang menyesalkan ucapan dan tindakan Pakde Pete yang dirasa telah melampaui batas. Tapi ada sebagian yang membelanya, terutama dari kalangan keluarga dan sanak-familinya.

Belum juga kasus itu reda, Pakde Pete membuat ulah lagi. Kali ini ia memarahi seorang remaja yang baru saja mengumandangkan adzan. Remaja itu ditegur lantaran suara adzannya kurang bagus dan belum tepat pada waktunya. Pernah pula sebelumnya seorang remaja lain juga ditegur perihal adzan. Menurut Pakde Pete, masjid itu sudah ada muadzin khusus, jadi orang lain tak berhak mengambil alih.

Lebih dari itu, Pakde Pete pun pernah memarahi anak-anak muda yang di waktu malam tidur di dalam masjid. Alasannya mengganggu orang shalat tahajjud atau mengotori karpet karena terkena iler, atau susah dibangunkan ketika Subuh tiba.

***

Waktu terus bergulir. Perlahan tapi pasti, satu per satu anak-anak mulai meninggalkan masjid. Mereka lebih memilih shalat di rumah atau pindah ke masjid lain. demikian halnya dengan sebagian dari para orang tua mereka. Para remaja pun enggan ke masjid. Mereka lebih suka nongkrong di gardu, kumpul di jembatan, atau menghabiskan waktu di warnet atau bermain PS.

Tak ada lagi anak-anak yang belajar mengaji di masjid itu. Tidak pula ada remaja yang mau mengumandangkan adzan. Masjid tak lagi menjadi tempat yang menarik bagi mereka. Kecuali kenangan sekaligus trauma akan sosok seorang horor yang seram nan menakutkan. Waktu shalat Jum’at sepi, pengajian akbar juga sunyi.

Tiada lagi yang peduli dengan masjid megah dan luas itu. Angker. Sepi. Kotor. Masjid tak lebih hanya seonggok bangunan mati. Redup. Simbolisme keagamaan yang tanpa nyawa. Tiada lagi terdengar canda-tawa, teriakan, jerit-tangis, kegaduhan. Semuanya memalingkan muka, semuanya menutup telinga, semuanya menjauhkan langkah.

Sang imam tersadar dari lamunan panjangnya. Ia baru menyadari para jamaah di hadapannya telah pulang. Tak terasa, bulir-bulir kecil membasahi pipinya yang kian menua dan berkerut. Penyesalan mulai memenuhi ruang jiwanya. Bayangan wajah anak-anak yang dulu ia omeli kian meremukkan batinnya.

[1] Membeli dengan cara borongan ketika buah masih di pohon

oleh  Trimanto B. Ngaderi Pegiat FLP Soloraya

[AKRAB Edisi 6 | September 2017]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *