Dibalik Semboyan “Iso Ngaji”

…… lanjutan bagian ke-1

“Yen golek Mantu sing Isoh Ngaji.”  Demikian pesan yang sekaligus telah menjadi semboyan sesepuh kampung Tegalsari. Dalam bahasa Indonesia semboyan tersebut berarti; “kalau mencari menantu, carilah menantu yang bisa ngaji”. Semboyan ini bukanlah semboyan kosong yang tanpa tujuan. Istilah Ngaji yang berlaku di masyarakat Tegalsari kala itu, bukanlah sekedar bisa membaca Al-Qur’an saja. Lebih dari itu yang dimaksud dengan Iso Ngaji yakni juga faham agama dan selalu berusaha untuk mengamalkannya. Dengan demikian, Iso Ngaji juga mencangkup sifat yang baik akhlaknya, baik adabnya dan baik tingkah lakunya, serta selalu berusaha memberi manfaat bagi orang lain.

Semboyan yang dipegang teguh oleh para sesepuh Tegalsari ini sesungguhnya berkaitan erat dengan Masjid Tegalsari yang baru saja didirikan kala itu. Sebagai masjid swasta pertama yang didirikan di wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat, keberlangsungan kemakmuran Masjid merupakan tanggung jawab penuh warga kampung. Sebisa mungkin imam shalat, khotib Jumat maupun pengisi kegiatan Masjid adalah berasal dari masyarakat Tegalsari sendiri. Oleh karenanya dalam upaya menjaga keberlangsungan pemakmuran masjid, para sesepuh Tegalsari kemudian ‘mengkampanyekan’ semboyan di atas.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa cita-cita membangun pondok merupakan planning besar para sesepuh yang telah direncanakan semenjak awal pendirian masjid Tegalsari. Namun, karena berbagai macam keterbatasan, rencana pembangunan pondok kala itu masih diurungkan.

Azzam mendirikan pondok di lingkungan masjid kemudian kembali muncul sekitar tahun 1940-an, 15 tahun setelah masjid didirikan. Musyawarah demi musyawarah kemudian digelar, hingga semakin memantapkan kaki untuk melangkah. SDM pengajar telah disiapkan, dana pun telah terkumpulkan. Sayang, Allah Ta’ala berkehendak lain sehingga upaya pendirian pondok kala itu lagi-lagi belum terwujud.

Kegagalan ini bukan karena kurangnya kyai yang siap mengajar apalagi sekedar kekurangan dana. Kala itu tahun empatpuluhan jelang kemerdekaan, para sesepuh dan kyai beserta warga kampung Tegalsari banyak yang masih gigih turut berjuang dalam upaya meraih kemerdekaan. Pun setelah Proklamasi, perjuangan mempertahan kemerdekaan tak kalah beratnya sehingga niat mendirikan pondok kembali diurungkan.

Sementara sebagian sesepuh berangkat berjuang, sesepuh yang tersisa di kampung kemudian bermusyawarah guna memikirkan bagaimana men-tasaruf-kan dana yang telah terkumpulkan. Akhirnya, diputuskan sementara menunggu suasana kondusif, dana yang telah ada diinvestasikan terlebih dahulu untuk mendirikan pabrik tegel. Dengan pertimbangan saat itu permintaan tegel cukup tinggi sedang jumlah pabrik yang ada tidak banyak.

 Singkat cerita kemudian dibangun sebuah pabrik tegel di kampung Tegalsari, lengkap dengan toko sebagai tempat distribusi hasil produksi tegel. Harapannya pabrik tersebut mampu berproduksi tinggi sehingga menghasilkan keuntungan yang banyak, sehingga keuntungan pabrik dapat ditabung guna pembangunan pondok di kemudian hari.

Ketika pabrik mulai berproduksi, para pemuda Tegalsari kala itu kemudian memiliki kesibukan baru, yakni kegiatan pembuatan Tegel. Hasil produksi pabrik tersebut kemudian didistribusikan kepada masyarakat sekitar Solo. Tegel yang diproduksi sempat mendapat tempat di hati masyarakat Solo sekitar. Bulan-bulan awal produksi terkumpul sejumlah rupiah yang dapat ditabung untuk pembangunan pondok. Hal ini tidak lain semata karena pertolongan Allah Ta’ala.

Namun, setelah berjalan beberapa bulan Allah Ta’ala menentukan lain, hasil produksi yang sempat mendapat tempat di hati masyarakat, lambat laun ditinggalkan. Hasil produksi kemudian banyak yang menumpuk di gudang. Tegel produksi Tegalsari justru mulai mandek pemasarannya. Sementara produksi masih terus berjalan. Pada akhirnya dana yang ada kemudian habis digunakan untuk produksi. Hingga akhirnya setelah pabrik tutup, wujud investasi pondok jangka panjang yang masih ada tinggal berupa tumpukan Tegel yang menumpuk di gudang.

 Hingga akhirnya pada tahun 1968 Yayasan Ta’mirul Masjid Tegalsari Surakarta, mampu mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Lembaga tersebut yakni SD Ta’mirul Islam yang berada di lingkungan Masjid Tegalsari hingga saat ini. Meski bukan berupa pondok pesantren seperti yang dicita-citakan oleh para sesepuh, namun diharapkan berdirinya SD ini sebagai langkah awal untuk pendirian pondok di kemudian hari. Hal ini tercermin pada motto SD Ta’mirul Islam kala itu yang diambilkan dari semboyan sesepuh Tegalsari, yakni “Iso Ngaji lan Ora Kalah Karo Sekolah Negri”. Dalam perjalanan waktu, semboyan SD ini (yang juga merupakan semboyan sesepuh Tegalsari) ditetapkan oleh Alm. KH. Naharussurur sebagai Motto Pondok Pesantren Ta’mirul Islam ketika pertama kali pondok didirikan pada tahun 1986.

Bersambung…..

( K.H Mohammad Adhim, M.Pd. Pimpinan Ponpes Ta’mirul Islam)

[AKRAB Edisi 6 | September 2017]

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *