Narasumber: KH. Mohammad Halim
Syafi’i adalah ayah KH. Naharussurur. Dia adalah sosok orang yang tidak bisa diam melihat sesuatu terbengkalai. Jika ada kalimat yang paling tepat menggambarkan karakternya, maka itu adalah, “Orang yang mengerjakan apa pun.” Dia punya keahlian memperbaiki berbagai hal. Jika ada kerusakan pada perabotan atau suatu bagian rumah, tak akan butuh waktu lama bagi Syafi’i untuk bergerak memperbaikinya.
Ketika beranjak dewasa, dia merantau ke Solo. Dia mengikuti keponakannya yang menikah dengan orang Solo. Meski keponakan, nyatanya berusia lebih tua dari Syafi’i. Itu disebabkan karena Syafi’i adalah anak dari istri ketiga Resoprawiro yang memang masih muda. Sedangkan keponakan tersebut adalah cucu Resoprawiro dari anak dari istri pertama yang sudah berusia lanjut. Keponakan Syafi’i itu diperistri oleh Ali Imron bin Kaji Iskak bin Iskak bin Slembaran.
Ketika ikut keponakannya itulah, Syafi’i bertemu Intiyah binti Kaji Iskak bin Iskak bin Slembaran. Dia adalah adik bungsu dari Ali Imron. Syafi’i kemudian dijodohkan dengan Intiyah. Mereka pun menikah dan tinggal di sebuah rumah joglo milik Kaji Iskak (mertua Syafi’i). Sementara untuk menyambung hidup, Syafi’i bekerja sebagai carik (semacam sekjend) di pabrik Batik milik Asngari bin Kaji Iskak bin Iskak bin Slembaran (kakak mertua Syafi’i selain Ali Imron).
Jadilah Syafi’i menjadi penduduk permanen Tegalsari. Hingga wafatnya, dia tetap tinggal di sana dan tidak kembali ke KarangAgeng Hasan. Meski bukan penduduk asli, Syafi’i begitu cepat menyatu dengan warga Tegalsari. Itu karena karakter Syafi’i yang suka membantu mengerjakan apa pun, bahkan secara sukarela. Dia sebenarnya tidak kaya, namun namanya terabadikan di plakat marmer yang bertuliskan para pendiri Masjid Tegalsari Surakarta.