Narasumber: KH. Mohammad Halim
Nasab KH. Naharussurur, dari pihak ayah, disebut-sebut sampai pada Sunan Lawu; seorang ulama yang menjadi salah satu penasehat Raja Pakubuwana IV di Kasunanan Sukarta Hadiningrat. Sebagaimana tersebut dalam sejarah, Pakubuwana IV adalah seorang pemeluk Islam yang taat dan mengangkat para ulama menjadi penasehatnya. Hasilnya adalah diberlakukannya syariat Islam di Surakarta. Hal itu menimbulkan ketidak-sukaan di hati para pejabat yang sudah kadung terbiasa dengan budaya takhayul dan syirik, yang berujung pada peristiwa Pakepung.
Peristiwa Pakepung adalah dikepungnya Keraton Surakarta oleh Belanda (dengan bantuan orang-orang yang tidak suka diberlakukannya syariat Islam). Belanda menuntut agar Pakubuwana IV menyerahkan penasihat-penasihatnya yang bergelar Kaji (sudah berhaji) untuk kemudian dibuang (diasingkan) oleh mereka. Awalnya, Pakubuwana IV bersikukuh melindungi para penasehatnya, namun karena besarnya tekanan, akhirnya dia menurut dan menyerahkan mereka.
Namun sepertinya, Sunan Lawu tidak termasuk penasehat yang dibuang Belanda. Karena makamnya saat ini ada di tepi sungai Bengawan Solo dekat jembatan Bacem Sukoharjo. Banyak peziarah yang datang ke makam tersebut, karena dia dianggap sebagai wali. Bahkan istrinya pun dianggap wali. Ada cerita turun temurun yang menyatakan bahwa istri Sunan Lawu mengasuh anaknya dengan menaikkan mereka di atas daun pisang yang dihanyutkan di Sungai Bengawan Solo. Anak-anaknya akan bermain air (tidak tenggelam), sementara buaya-buaya mengelilingi mereka, bukan untuk memangsa, tapi untuk menjaga.
Dari keturunan Sunan Lawu ini, lahirlahlah seorang laki-laki yang bernama Kyai Bagus Mustahal. Pada saat itu, pulau Jawa masih kental dengan nuansa kejawen. Masyarakat masih sangat percaya dengan berbagai takhayul. Banyak juga yang melakukan perbuatan syirik. Namun Kyai Bagus Mustahal tidak hanya menjadi seorang ulama yang sholeh, tapi juga menjadi seorang penghafal Alquran. Setelah berhasil menghafalkan seluruh isi Alquran, dia kemudian melakukan perjalanan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Waktu berbulan-bulan ditempuhnya demi menyambut panggilan Allah. Akhirnya dia berhasil tiba di Makkah. Namun, qodarullah, di sana dia menderita sakit dan akhirnya wafat. Dia pun dimakamkan di pemakaman Ma’la di Makkah.
Dari anak cucu Kyai Bagus Mustahal ini, muncullah seorang laki-laki bernama Resoprawiro yang tinggal di daerah KarangAgeng Hasan, Klaten. Dia adalah seorang muslim yang taat. Kegemarannya adalah melakukan i’tikaf di masjid (sekarang, masjid itu dimodernisasi dan dinamakan Masjid Pancasila). Setiap ada waktu luang, selalu digunakan untuk berdzikir atau membaca Alquran di dalam masjid. Selain itu, dia adalah juru dakwah yang militan. Setiap subuh, dia akan berkeliling ke seluruh penjuru kampung, mengetuk setiap pintu rumah dan mengajak penghuninya sholat shubuh berjamaah di masjid.
Resoprawiro memiliki tiga istri yang dinikahinya secara berangsur-angsur. Ketiga istrinya hidup rukun di dalam satu rumah yang luas sebagaimana umumnya rumah-rumah bergaya Jawa saat itu. Mereka saling bagi tugas. Istri pertama bertanggung jawab mengasuh anak, istri kedua bagian masak-memasak dan istri ketiga urusan cuci pakaian. Ketiga istri Resoprawiro melahirkan banyak anak. Hingga saat ini, setiap Syawal, anak cucu Resoprawiro mengadakan pertemuan keluarga. Jumlah mereka sudah hampir mencapai seribu orang.
Dari istri ketiga Resoprawiro, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Syafi’i. Dialah yang kelak akan menjadi ayah KH. Naharussurur. Selama masa remaja, Syafi’i muda menghabiskan hidup di KarangAgeng Hasan. Barulah ketika beranjak dewasa dan hendak mencari kerja, dia memutuskan merantau ke Solo. Perantauan itu mempertemukannya dengan Intiyah binti Kaji Iskak bin Iskak bin Slembaran; ibunda KH. Naharussurur.