Bilal Ahmad Taufik: Santri Baru dengan Rata-Rata Nilai 9.6

Nama saya Bilal Ahmad Taufik. Saya lahir di Surakarta 17 Februari 2007. Saya dirawat oleh ayah saya, Bapak Taufik Saleh, dan ibunda saya, Ibu Soraya Khoirunnisa Halim. Saya tamatan SD Jama’atul Ikhwan Sondakan Laweyan Surakarta.

Saya mengenal Pondok Ta’mirul Islam sejak kecil, karena rumah saya ada di dalamnya, tepatnya di kompleks putri. Itu terjadi karena ayah dan ibu saya merupakan tenaga pengajar di sana. Sejak umur tiga tahun, saya sering ikut ayah saat beliau mengajar di kelas. Saya juga sering melihat berbagai kegiatan Pondok.

Waktu itu, saya sudah merasa sangat mengenal Pondok. Saya melihat santri-santri begitu akrab, bermain dan bercanda antara satu sama lain. Ada banyak acara yang menarik. Dan yang paling penting, ada ekstrakurikuler kesukaan saya; futsal. Itulah yang membuat saya ingin menempuh pendidikan di Ta’mirul Islam.

Namun ketika saya sudah benar-benar menjadi santri, saya merasakan hal yang berbeda. Ternyata hidup di pondok tidak bisa sesantai di rumah. Banyak peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Di rumah, saya biasa mandi sebelum maghrib, sekarang harus sebelum jam lima sore. Selain itu, untuk melakukan berbagai kegiatan harian, para santri harus antri terlebih dahulu. Mulai dari mandi, makan, cuci baju, sampai jajan, semuanya harus antri. Kesimpulannya, hidup di Pondok, kita dituntut mempunyai kedisiplinan yang tinggi.

Perbedaan antara di rumah dan di Pondok sempat membuat saya tidak kerasan. Alhamdulillah, orangtua memotivasi saya agar tidak mudah putus asa. Mereka menyuruh saya agar tidak terlalu memikirkan peraturan pondok, cukup patuhi dan jalani saja. Mereka juga mendorong saya agar lebih cakap dalam mengatur waktu.

Nasehat orangtua akhirnya membuat saya kembali bersemangat dalam menempuh pendidikan di Pondok. Hingga akhirnya saya bisa betah di sini.

Semangat saya dalam belajar ternyata membuahkan hasil yang memuaskan. Ketika pembagian hasil UTS kemarin, saya mendapatkan nilai rata-rata tertinggi sepondok, yaitu 9,6.

Waktu itu diadakan upacara awal bulan KMI di lapangan Waro’a. Semua santri mengikuti acara tersebut. Saat itulah diumumkan para juara kelas yang diambil dari nilai UTS.

Saya sudah memprediksi bakal menjadi juara kelas, karena dari beberapa lembar jawaban yang dibagi oleh ustadz, saya mendapat nilai tinggi. Jika bukan juara pertama, paling tidak, juara dua atau tiga.

Namun saya tidak memprediksi bahwa nilai saya akan jadi yang tertinggi sepondok. Saya terkejut saat nama saya dipanggil untuk maju ke depan, untuk mendapatkan penghargaan dan hadiah dari Direktur KMI.

Saya merasa bangga dengan prestasi tersebut, dan akan berusaha mempertahankannya semampu saya. Namun saya tidak akan membuatnya menjadi obsesi. Yang penting, saya akan bersungguh-sungguh belajar.

Untuk bisa meraih prestasi tersebut, saya mempunyai cara belajar sendiri.

Cara pertama: saya harus sudah memahami pelajaran ketika pelajaran itu diterangkan oleh ustadz di kelas. Sehingga ketika ujian, saya tinggal menghafalnya saja. Karena itulah, saya belum pernah tidur di kelas sekalipun.

Jika di kelas, saya masih belum paham, maka saya akan menanyakanya sampai saya benar-benar memahaminya. Ketika saya menanyakan sesuatu, ustadz-ustadz selalu menjawabnya tanpa pernah mengeluarkan raut muka bosan. Padahal dalam hati saya takut ustadz akan bosan ketika saya tanyai terus-menerus.

Cara kedua: Semua catatan saya hafalkan. Itu adalah kebiasaan dari SD yang ternyata sangat bermanfaat ketika ujian. Karena saya tidak pernah menemukan soal di luar catatan dan penjelasan dari ustadz.

(Ditulis oleh Sofiy Zaeni/Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Bilal Ahmad Taufik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *