Ilmu falak merupakan ilmu penting dalam kehidupan manusia di planet bumi, karena dengan ilmu falak orang dapat mempelajari peredaran planet matahari, bumi dan bulan yang menyebabkan terjadi perubahan waktu sepanjang bulan dan tahun, dan perubahan waktu itu terkait pula dengan kelangsungan hidup manusia. Ilmu falak merupakan ilmu tertua dalam khazanah dunia keilmuwan, karena jauh sebelum tahun Masehi, masyarakat sudah mengenal, mempelajari dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penetapan awal bulan Hijriah yang merupakan salah satu lahan objek kajian ilmu Falak adalah hal yang senantiasa menarik perhatian bagi umat Islam apalagi jika terjadi perbedaan penetapan antar ormas Islam. Perbedaan penetapan awal bulan hijriah tersebut dapat membawa dampak negatif pada ritual keagamaan maupun ukhuwah Islamiyah.
Kenapa selalu terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal? Kita perlu mengetahui akar perbedaannya terlebih dahulu sebelum mengkajinya dari perspektif ilmu falak.
BENANG KUSUT PERBEDAAN
Sebagai umat Islam maka sudah menjadi kewajiban kita untuk melandaskan seluruh aktifitas kita dengan landasan Qur’an dan Sunnah, dan apabila tidak ditemukannya suatu jawaban pasti dalam nash syara’ maka Ijma’ dan Qiyas dapat digunakan sebagai metode penemuan jawaban atas suatu permasalahan. Akar permasalahan perbedaan penentuan awal bulan Kamariah berawal dari perbedaan ulama dalam memahami nash Hadis berikut :
Dari Abdullah bin Umar radiallahhunhuma, bahwa sesungguhnya Rasul saw bersabda; bulan itu dua puluh sembilan malam maka janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihatnya, maka jika bulan tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya tiga puluh hari” (H.R. Imam al-Bukhari).
Dari hadis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Rasulullah menyuruh kita untuk mengamati bulan saat menentukan awal puasa wajib bulan Ramadhan, dan menyuruh untuk menggenapkan 30 hari apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat karean tertutup awan. Namun di zaman yang telah berbeda dari zaman Nabi, mungkinkan bagi kita melihat hilal dengan cara yang lain?
Kembali kepada perbedaan ulama dalam memahami dhahir hadis di atas yaitu dalam memahami kata “rā`a” dan kata “faqduru lahu” (maka kadarkanlah), menurut ulama yang menyimpulkan makna hadis secara Ta’abbudi ghair al-ma’qul al-ma’na yaitu menarik hukum sesuai dengan teks atau nash hadis dengan tidak merasionalkan, memperluas atau mengembangkan nash hadis tersebut, sehingga dalam memaknainya menghasilkan produk hukum bahwa penentuan awal bulan Kamariah terbatas pada melihat hilal dengan mata telanjang (naked eye), dengan demikian secara mutlak perhitungan atau metode hisab sama sekali tidak digunakan. Inilah yang dikenal dengan pemikiran rukyatul hilal.
Berbeda dengan ulama yang memahami makna hadis tersebut dengan pemikiran ta’aquli ma’qul al ma’na yaitu yang memahami bahwa arti dhahir kata “rā`a” (melihat) dan kata “faqduru lahu” (maka kadarkanlah), dari hadis tersebut dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan. Sehingga ia dapat diartikan bahwa menentukan awal bulan kamariah tidak terbatas dengan hanya melihat dengan mata telanjang namun dapat diartikan rukyat bi al-ilmi yaitu melihat dengan ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan dugaan kuat dari perhitungan falakiyah, inilah yang kemudian disebut dengan pemikiran hisab.
Dari perbedaan pemahaman tadi, disimpulkan bahwa ada tiga cara penetapan awal bulan Kamariah. Pertama dengan rukyat, kedua dengan istikmal dan ketiga dengan hisab. Menurut rukyat penetapan awal Ramadan dan awal Syawal dengan melihat langsung hilal pada akhir bulan disaat matahari terbenam. Apabila hilal tidak terlihat karena masih berada di bawah ufuk atau cuaca mendung, penetapan awal bulan dilakukan dengan Istikmal (فاكملوا العدة ثلاثين) yaitu menggenapkan usia bulan menjadi 30 hari. Menurut hisab penetuan awal bulan Kamariah didasarkan kepada perhitungan tinggi hilal saat matahari terbenam, apabila hilal sudah berada di atas ufuk ditetapkan sebagai bulan baru atau tanggal satu.
METODE HISAB DAN KRITERIA HILAL DALAM PENENTUAN AWAL BULAN
Dalam proses menentukan awal bulan baik diantara golongan yang memedomani pemikiran hisab sendiri pun ada beberapa perbedaan. Perbedaan yang muncul di kalangan ahli Hisab dikarenakan beragamnya sistem perhitungan dan referensi data yang digunakan dan juga kriteria-kriteria hasil hisab yang dapat dijadikan pedoman penentuan awal bulan.
Berdasarkan pada sistem dan referensi data yang digunakan dalam hisab penentuan awal bulan Kamariyah maka hisab dapat dibagi menjadi 3 metode yaitu:
a. Hisab Urfi
Hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana, pada sistem ini, perhitungan bulan kamariah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan dalam setahun kamariah bervariasi diantara 29 hari dan 30 hari. Bulan yang bernomor ganjil dimulai dari bulan Muharram berjumlah 30 hari, sedangkan bulan bernomor genap berjumlah 29 hari, kecuali dalam tahun kabisat bulan Dzulhijjah berjumlah 30 hari. Jadi dalam 1 tahun kamariah kabisat berjumlah 355 hari dan dalam 1 tahun basithah berjumlah 354 hari.
b. Hisab Taqribi
Sistem hisab taqribi adalah sistem yang telah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. Sistem ini merupakan warisan para ilmuwan Islam masa lalu yang banyak dibukukan dalam berbagai kitab falak seperti sullam an-nayirain, fathul ar-rufdiul mannan, al-qawaidu al-falakiyah, dll.
c. Hisab Hakiki
Sistem hisab ini sudah mulai menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta rumus-rumus terbaru dilengkkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki ketelitian standar.
d. Hisab Hakiki Tahqiqi
Sistem hisab yang memiliki akurasi tingkat tinggi sehingga mencapai derajat pasti dan telah dibuktikan secara ilmiah.
e. Hisab Kontemporer atau Modern
Sistem hisab yang telah menggunakan alat bantu komputer yang canggih dengan rumus-rumus algoritma.
Untuk menentukan keberadaan hilal kita dapat menggunakan tiga kriteria umum menurut para ahli hisab rukyat, kita dapat memilih kriteria-kriteria tersebut dalam menentukan awal bulan Kamariyah. Yang pertama kriteria imkanurrukyat (kebolehnampakan) yaitu metode hisab yang memperhitungkan peluang/kemungkinan kenampakan hilal atau batas minimal hilal dapat terlihat, yang kedua kriteria wujudul hilal yaitu sudah dinyatakan masuk bulan baru jika ketinggian hilal terhadap ufuk setelah dihitung lebih dari 0 derajat, yang ketiga adalah kriteria imkanurrukyat MABIMS (musyawarah menteri-menteri agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura) yaitu dikatakan masuk awal bulan hijriah apabila ketinggian hilal telah mencapai 2 derajat atau lebih.
Perbedaan ulama dalam meng-interpretasikan hadis penentuan awal bulan kamariyah sebenarnya sangat berkontribusi dalam memberi stimulasi dalam pengembangan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, namun bagi yang belum dewasa dalam memahami suatu perbedaan adalah rahmat, hal itu justru dipahami suatu hal yang menyimpang. Hingga hal ini dijadikan celah bagi orientalis masa lalu Snouck Hurgronje yang berhasil mencetuskan politik devide at impera dengan menciptakan mindset pertentangan hukum Islam dengan hukum masyarakat adat. Dalam masalah perbedaan penentuan awal bulan Hurgronje sempat berkomentar negatif tentang bangsa ini di dalam suratnya kepada gubernur Belanda:
“Tak usah heran jika di negara ini hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung yang berdekatan”
Belajar dari sejarah masa lalu kita, tentunya kita tak ingin masa lalu gelap itu terulang, sebagai umat islam wajib bagi kita merajut ukhuwah menjadikan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, yaitu dewasa dalam menyikapi perbedaan dengan ikut berkontribusi menjayakan islam melalui warisan ilmu pengetahuan cendikiawan muslim salah satunya adalah mempelajari ilmu falak untuk menambah kemantapan dalam beribadah kepada sang Khalik.
(Najib Ihda Bashofi)
Alhamdulillah
Semoga manfaat dan istiqomah