Hikayat : Kyai Nahar Menyerahkan Ember Kepada Ustadz Ya’qub

Oleh Opik Oman

Berdasarkan wawancara dengan Ustadz Ya’qub Mubarok

Kisah ini terjadi pada tahun 2009. Saat itu, Ustadz Ya’qub Mubarok masih menjadi santri di PPTI. Duduk di kelas akhir KMI dan menjabat sebagai bagian keamanan OSTI. Setiap malam, sudah menjadi tugas rutin beliau, untuk (daur) berkeliling pesantren. Mengecek setiap sudut pesantren, memastikan semuanya berada dalam kondisi yang semestinya dan tidak ada hal-hal ganjil. Selain itu, juga sesekali berkeliling sekitar pesantren, mengawasi warung-warung, angkringan dan tempat play station yang kadang menjadi tujuan santri yang melanggar disiplin keluar malam.

Pada malam yang dimaksud, Ustadz Ya’qub sedang berada di jemuran santri, di tingkat paling atas gedung. Memperhatikan sudut-sudutnya, kalau-kalau ada santri yang bersembunyi di sana untuk merokok atau pelanggaran lainnya. Setelah memastikan semua beres, dia sejenak menikmati suasana malam. Dari posisi yang tinggi itu, dia mengarahkan pandangan ke arah gerbang pesantren. Pada saat itulah terlihat gerakan dari kamar mandi di samping gerbang.

Kamar mandi di samping gerbang pesantren, kini, telah menjadi kamar mandi tamu. Namun sebelumnya, itu adalah kamar mandi keluarga Kyai Nahar. Tidak seperti sekarang yang sudah dijadikan dua kamar mandi (putra/putri) dengan beberapa keran wudhu di setiap bagiannya, dulu hanya berwujud satu kamar mandi luas dengan bak super besar (jika dibandingkan kamar mandi umum sekarang). Di baknya, dipelihara satu ikan mujair seukuran genteng yang telah hidup di sana bertahun-tahun.

Malam itu, kira-kira jam satu dini hari, Kyai Nahar keluar dari kamar mandi yang sebelumnya tertutup. Ustadz Ya’qub yang berada cukup jauh di jemuran santri tingkat atas, dengan cepat mengenali Kyai Nahar lewat postur tubuh beliau. Dia memperhatikan lebih seksama ketika Kyai Nahar mengeluarkan ember yang berisi sesuatu yang berat dari kamar mandi, lalu mulai membawanya berjalan dengan pelan. Sepertinya akan kembali ke kamar beliau (yang sekarang ditempati Ustadz Nurrohmat dan Ustadz Bakti).

Ustadz Ya’qub, didorong oleh rasa baktinya kepada beliau, segera berlari sekencang mungkin. Menuruni tangga dengan meloncat-loncat. Tergesa memakai sandal. Lalu kembali berlari terburu-buru menyongsong Kyai Nahar. Mereka bertemu di pelataran depan masjid al-Kahfi. Ustadz Ya’qub kemudian menyadari kalau Kyai Nahar baru saja selesai mencuci pakaian dan hendak membawanya untuk dijemur.

Sejak dulu, meski mempunyai ribuan santri yang bisa disuruh-suruh, Kyai Nahar memang selalu mencuci pakaian sendiri. Pun saat-saat itu, setelah wafatnya istri tercinta, Ustadzah Muttaqiyah, beliau masih saja mencuci pakaian sendiri, meski usia sudah sepuh.

Ustadz Ya’qub segera meminta ember berisi pakaian basah itu. Bermaksud untuk membawakannya sampai tujuan. Namun hatinya lumer begitu mendengar penolakan beliau.

“Sudah … nggak usah. Ini barang saya sendiri,” kata Ustadz Nahar kalem. Sama sekali tidak bergerak menyerahkan ember yang beliau bawa pada santrinya yang sedang berdiri terengah-engah di depannya.

Demi mendengar kata-kata itu, Ustadz Ya’qub merasa terharu dan kagum. Sehingga kejadian itu begitu membekas di benaknya. Betapa sosok yang dihormati masyarakat ini tetap hidup dengan kerendahan hati, sikap tawadhu’ dan zuhud yang menginspirasi siapa pun yang melihatnya.

Lalu apa yang terjadi setelah penolakan itu? Ternyata Ustadz Ya’qub tetap bersikeras membawakan ember itu, hingga akhirnya Kyai Nahar-lah yang mengalah.

“Ya sudah. Bawakan sampai depan kamar saya saja,” kata beliau.

Maka dengan penuh kebanggaan, Ustadz Ya’qub membawa ember itu. Dia begitu senang, seakan membawa piala hasil memenangkan suatu kejuaraan. Tak lupa setelah itu, menyalami dan mengecup tangan beliau. Bertahun-tahun kemudian, Ustadz Ya’qub berkesempatan menceritakan kisah itu pada saya. Maka tulisan ini adalah hasilnya. Semoga keteladanan yang diperlihatkan Kyai Nahar di atas tadi mampu menginspirasi kita menjadi pemimpin yang lebih baik, guru yang lebih baik, orangtua yang lebih baik, dan manusia yang lebih baik.

End. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *