Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2005. Ketika itu, Ustadz Anis Muhammad masih berstatus santri senior di Ta’mirul Islam dan menjabat sebagai Bagian Sekretaris OSTI. Artinya, peristiwa ini sudah berlalu sekitar satu dekade lebih. Namun Ustadz Anis masih mengingatnya sebagai hal yang sangat membekas di hati mengenai keteladanan yang dicontohkan oleh KH. Naharussurur.
Saat itu bisa disebut sore yang biasa. Tidak ada yang istimewa dalam kegiatan santri. Mereka masuk masjid seperti hari-hari sebelumnya. Digerakkan oleh Bagian Ta’lim OSTI. Semua orang berpakaian rapi. Memakai kemeja yang dimasukkan. Sarung dipakai dengan sabuk sebagai penguat. Tak lupa kopyah putih atau peci hitam sebagai pilihan. Bagian Ta’lim lebih gagah lagi; memakai jas gelap yang menambah kesan berwibawa.
Apabila ada yang berbeda dari hari-hari biasa, maka itu adalah hujan yang mengguyur sore itu. Semakin lama semakin lebat. Masjid Alkahfi bocor di beberapa bagian. Namun tidak terlalu menganggu santri yang sedang khusyuk mengaji. Sementara itu, genangan mulai tampak di pelataran depan masjid. Terutama di area, yang sekarang adalah depan makam KH. Naharussurur. Sekarang pun, jika hujan, bagian itu masih sering menghasilkan genangan.
Di bagian itu memang sudah ada lubang pembuangan, tapi sepertinya belum efektif. Air terbendung karena keadaan tanah yang tidak rata. Saat itu memang belum di-paving seperti sekarang. Jika ingin genangan itu segera surut, maka diperlukan usaha membuat parit darurat ke arah lubang pembuangan. Namun sepertinya tidak ada satu santri pun yang tergerak untuk melakukannya, meski genangan semakin lama semakin tinggi.
Pada saat itulah, KH. Naharussurur keluar dari kediamannya. Memakai kaos putih polos dan celana sederhana. Beliau berjalan menembus hujan sambil memanggul cangkul. Tindakan beliau itu membuat heran pengurus OSTI yang sedang berada di masjid. Mereka melihat beliau karena kebanyakan dari mereka berdiri. Berbeda dengan santri-santri junior yang duduk membentuk shaf-shaf.
KH. Naharussurur tiba di genangan air. Beliau segera bekerja. Dengan cangkulnya, beliau memulai usaha membuat parit. Agar air bisa segera mengalir lancar ke lubang pembuangan. Beliau melakukan itu tanpa meminta bantuan, apalagi memerintah santri-santrinya. Langsung dikerjakan sendiri, tidak tunjuk-tunjuk orang.
Namun, memang sudah dasarnya santri itu sangat memuliakan sang Kyai, demi melihat KH. Naharussurur bekerja di tengah hujan, para pengurus OSTI segera berlarian ke kamar. Dengan cepat berganti pakaian dengan kaos dan celana. Lalu berbondong-bondong ikut menembus hujan. Membantu KH. Naharussurur membuat parit. Prinsip santri itu, diajak jihad kyai saja berangkat, apalagi cuma diajak hujan-hujanan.
Memang tidak semua santri ikut terjun. Secukup tenaga yang dibutuhkan untuk membuat parit. Beberapa pengurus OSTI masih tetap di masjid untuk mengurus santri-santri junior. Utamanya, KH. Naharussurur tidak dibiarkan sendiri membuat parit. Sangat tidak beradab kalau beliau membuat parit sendiri dalam hujan, sementara santri-santri berteduh di kehangatan masjid.
Hanya dalam sekejab parit itu jadi dan air pun surut. Ternyata kalau memang serius, masalah sebesar apapun akan bisa terselesaikan. Intinya adalah dikerjakan, tidak dibiarkan. Meski pembuatan parit hanya berlangsung sebentar, namun ingatan itu sangat kuat membekas pada pikiran para santri. Bagaimana mereka telah digerakkan, bukan oleh perintah, namun oleh bakti mereka pada kyai.
Tindakan KH. Naharussurur yang langsung turun tangan tanpa memberi perintah juga menjadi cerita tersendiri. Keteladanan tersebut tiada duanya. Mempengaruhi para santri dengan kuat. Pengalaman yang sangat emosional bagi mereka. Sikap tawadhu’ KH. Naharussurur telah menjadikan para santri semakin setia pada beliau. Hingga membuat mereka membantu beliau tanpa diminta.
Jiwa keteladanan KH. Naharussurur sebenarnya sudah terkenal jauh sebelum itu. Sejak lama, beliau diingat oleh keluarga, teman dan santri-santri sebagai orang yang ‘opo-opo dewe’. Alias ‘apa-apa sendiri’. Beliau bisa dikatakan tidak pernah memerintahkan sesuatu untuk kebutuhannya sendiri. Dalam berumah tangga pun KH. Naharussurur bukan tipe suami yang harus dilayani. Contohnya, diambilkan makan, dibuatkan minuman, dan sebagainya. Beliau selalu mengerjakannya sendiri.
Jiwa keteladanan ini agaknya mempengaruhi ribuan santrinya. Ketika akhirnya beliau wafat, para santri dari penjuru Indonesia datang untuk memberi penghormatan terakhir hingga pesantren penuh sesak. Mereka datang bukan karena diperintah, namun karena rasa bakti mereka kepada beliau. Pada hari beliau dimakamkan, terlihat mata-mata sembab kemerahan menahan tangis dari wajah semua santri yang hadir. Kesedihan mereka tulus. Mengantar Kyai panutan mereka, pergi menemui sang Pencipta.
(Opik Oman)