I’tibar Awal Surat Al Anfal – KH. Mohammad Halim

 

(Narasumber: KH. Mohammad Halim – Pimpinan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam)

I’tibar adalah mengambil ibrah. Ibrah berasal dari kata Bahasa Arab yang artinya menyeberang dari tepi sungai ke tepi yang lain. Imam Ghazali menjelaskan makna i’tibar sebagai berikut; “Menyeberang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan. Oleh karena itu, tidak terbatas hanya pada yang disebutkan saja.” (Ihya’ Ulumud-Din 1/62)
Makna yang lebih mudah dipahami; i’tibar adalah pengambilan pelajaran dari suatu peristiwa oleh seseorang, meskipun pelajaran itu tidak tampak atau tidak disebutkan secara nyata. Contohnya; peristiwa penangkapan seorang koruptor. Masing-masing individu bisa saja melakukan i’tibar yang berbeda. Satu orang mungkin ber-i’tibar, “Hiduplah dengan jujur, meskipun miskin, maka hidup akan damai.” Sedangkan yang lain mungkin ber-i’tibar, “Jangan masuk politik, karena akan membuat orang jadi setan.” I’tibar yang berbeda-beda ini terjadi karena setiap orang punya pengalaman hidup yang berbeda pula.
Selain terhadap peristiwa, i’tibar juga bisa dilakukan pada Alquran. Bahkan setiap kali membaca Alquran, kita bisa mendapat puluhan ibrah; sebuah pelajaran yang bisa kita ambil, yang sesuai dengan keadaan kehidupan kita. Karena itulah, ketika tertimpa masalah atau kebingungan, setelah sholat hajat atau sholat istikharah, kita diintruksikan untuk membaca Alquran. Kemudian, seringkali, kita mendapat jawaban persoalan kita dari tilawatil-qur’an tersebut.
Kita juga bisa mengambil i’tibar dari awal surat Al Anfal.
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu. Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu beriman.” (QS. Al Anfal: 1)
Secara tersurat, Al Anfal ayat pertama membahas tentang harta rampasan perang. Ayat itu menunjukkan bahwa harta rampasan perang adalah milik Allah dan rasulnya, dan harus dibagi sesuai ketentuan Allah dan rasul-Nya. Namun kita bisa ber-i’tibar; Allah hendak menunjukkan bahwa bukan kemenangan (al anfal) seperti itulah yang hakiki. Dulu, ketika jaman jahiliah, banyak orang mau bergabung ikut perang karena ingin mendapat bagian dari harta rampasan. Mereka mengharap kemenangan karena itu akan membuat mereka kaya.
Allah hendak mengajarkan kepada orang-orang beriman, bahwa ketaqwaan mereka kepada Allah dan ikatan persaudaraan yang erat di antara orang-orang beriman merupakan kemenangan yang sesungguhnya. Karena hanya lewat ketakwaan dan ukhuwah, umat Islam akan mampu mengalahkan pasukan-pasukan iblis. Ketakwaan dan ukhuwah adalah yang terpenting. Harta rampasan hanya sekedar bonus dan tidak seharusnya menjadi tujuan seseorang bergabung dalam peperangan.
Selanjutnya, Allah membahas tentang keimanan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hatinya. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka. Dan mereka bertawakal kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Anfal: 2)
“(Orang-orang mukmin) mereka mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian yang Kami rizki-kan kepada mereka.” (QS. Al Anfal: 3)
“Mereka itulah orang-orang beriman yang nyata (imannya). Mereka memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhan mereka dan memperoleh rezeki (ni’mat) yang mulia.” (QS. Al Anfal: 4)
Rangkaian ayat di atas menunjukkan kualitas orang-orang yang mempunyai iman hakiki. Bahwa mereka adalah orang-orang yang tergetar hatinya ketika mendengar nama Allah disebut, bertambah imannya jika ayat-ayat-Nya dibacakan, mendirikan sholat dan berinfak. I’tibar yang bisa diambil adalah bahwa untuk mempunyai iman yang hakiki, kita harus banyak berdzikir sehingga hati kita selalu terpaut kepada-Nya, kita harus banyak tilawatil quran dan mencoba ber-i’tibar darinya sehingga hati kita semakin mantap, kita harus menjaga sholat dengan sungguh-sungguh sehingga terhindar dari perbuatan fakhsa’ dan munkar, dan kita harus membelanjakan harta di jalan Allah sehingga hati kita tidak terpaut pada dunia.
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan tausiah KH. Mohammad Halim.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *