Nama lengkap saya Muhammad Syadam Azriel Arifin. Biasa dipanggil Syadam. Saya ketua OSTI periode 2018-2019. Lahir di Bandung, 28 November 2001. Orangtua saya bernama Endin Arifin dan Shaly Azhary. Saya anak pertama dari lima bersaudara.
Saya tinggal di Cimahi Selatan, Bandung. Namun itu sebelum saya masuk pesantren. Sekarang, saya adalah santri akhir di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Tempat yang sudah saya tinggali selama lima tahun lebih.
Saya masuk pesantren pada tahun 2014, setelah lulus dari SD Cijerah 04. Waktu itu, saya sampai di Ta’mirul Islam diantar Ayah dan sopir. Kami bertiga berangkat dengan mobil Avanza milik Ayah. Saya hanya membawa satu tas gunung yang berisi pakaian dan makanan kesukaan. Segala kebutuhan lain kami beli di koperasi Pondok.
Sebagai santri baru, menangis itu biasa. Saya sudah menangis di hari kedua mondok. Alasannya klise: kangen orangtua. Waktu itu, saya menangis diam-diam di WC.
Hal yang membuat saya tidak betah di Pondok adalah ketidak mampuan saya berbahasa Jawa. Di hari-hari pertama, semua teman menggunakan bahasa Jawa. Saya jadi kebingungan sendiri.
Bahkan, karena tidak bisa berbahasa Jawa, saya dikerjai oleh teman saya yang bernama Nicholas Saputra. Saya disuruh bicara, “Saya ganteng koyo pithek.” Yang ternyata berarti, “Saya ganteng seperti ayam.’
Kendala berbahasa ini hanya berlangsung sebentar. Karena kemudian, pengurus melarang santri baru menggunakan bahasa daerah.
Hal lain yang membuat saya tak betah adalah disiplin di Pondok yang ketat. Saya yang terbiasa santai di rumah, tiba-tiba harus hidup penuh disiplin. Waktu itu, pernah saya hampir menangis karena mendengar peraturan wajibnya memasukkan baju ke dalam celana. Saat itu saya berpikir, hanya berpakaian saja sampai diatur ketat begitu.
Namun sekarang, setelah bertahun-tahun hidup dalam disiplin, hal-hal itu sudah menjadi biasa. Alhamdulillah, saya bisa bertahan saat rasa tak betah datang. Itu semua karena teman-teman saya yang baik. Bagi saya, mereka adalah guru dalam kesabaran.
Memang, teman-teman juga sempat membuat saya tidak kerasan karena mengerjai saya saat tak bisa berbahasa Jawa. Namun teman-teman jugalah yang membuat saya kerasan. Mereka sangat asyik diajak berteman. Kadang memang nakal, tapi mereka bersikap fair. Tidak marah kalau kemudian balik dikerjai.
Saat naik ke kelas 4 KMI, saya sempat memutuskan pindah ke Gontor. Semua persyaratan sudah diurus, tetapi kemudian saya berpikir ulang. Pondok Pesantren Ta’mirul Islam dengan semua penghuninya ternyata telah saya anggap sebagai keluarga. Saya tak ingin meninggalkan mereka. Maka saya mengurungkan niat.
Keputusan saya meneruskan pendidikan di Ta’mirul Islam ternyata membuat saya mendapat tanggung jawab besar. Saya dipilih menjadi ketua OSTI.
Waktu itu, saya menjadi salah satu kandidat ketua. Teman-teman saya yang juga menjadi kandidat ketua, di antaranya: Munib Hudaya, Shafly Nasirunddin, dan Emha. Foto-foto kami ditempel di sudut-sudut pesantren.
Saat pemilihan, saya mendapat suara terbanyak. Teman-teman dan adik kelas mengucapkan selamat kepada saya. Mereka bertepuk tangan dan berkomentar riuh. Saya yang awalnya biasa saja, mau tak mau terbawa suasana.
Saya pun mencoba melaksanakan tugas sebagai ketua OSTI dengan sungguh-sungguh. Hingga akhirnya saya melepas jabatan, saya merasa sudah bekerja cukup maksimal. Hanya saja, masih ada harapan-harapan yang belum terwujud. Salah satunya adalah menyelenggarakan OSTI Fest yang pada tahun 2018 distop sementara oleh Dewan Asatidz karena beberapa alasan. Meskipun itu terjadi bukan karena kami, tetap saja itu membuat kami kepikiran.
Saat menjabat sebagai ketua OSTI, saya tidak hanya berusaha menegakkan disiplin pada anggota, tetapi juga pada pengurus. Hal ini adalah perkara sulit, karena pengurus OSTI adalah kawan-kawan sekelas saya juga. Saya tidak bisa menghukum mereka. Saya hanya bisa memotivasi mereka agar menjadi pengurus yang layak diteladani.
Pada masa jabatan saya, OSTI berhasil membuat beberapa terobosan. Yakni membuat taman gantung di depan Pondok dan membuat english corner.
Saya berharap, pengurus OSTI selanjutnya juga bisa menciptakan terobosan-terobosan baru seperti yang kami lakukan. Saya percaya, ketua OSTI baru, yang menggantikan saya, sanggup mengemban tugas tersebut.
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Syadam Azriel)