Oleh: Birrul In’am
Sepada motorku melaju perlahan menyusuri jalan ke timur, arah Stasiun Masaran.
Namun kemudian, sebelum jembatan Kali Anyar, lampu sein kirinya menyala, pertanda hendak berbelok ke kiri.
Benar saja, ia memasuki gerbang Ponpes Ta’mirul Islam Kampus Masaran.
Ada pemandangan menarik saat memasuki gerbang pondok; mata pengunjung diperlihatkan potongan ayat suci, ditulis dengan kaligrafi yang indah, dan terpampang jelas pada sebuah bangunan—menurut riwayat yang saya dapat dari Ustaz Rizki Ajihat, kaligrafi tersebut ditulis oleh Ustaz Fan Almuttaqien.
Ayat tersebut kira-kira memiliki arti seperti ini, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan (oleh karena itu) Kami tambahkan bagi mereka hidayah (petunjuk ke jalan yang lurus)”
Ayat di atas dapat pula kita jumpai dalam Alquran surat al-Kahfi (Q.S. 18:13), sebuah surat yang bagian pertama isinya berkisah tentang pemuda Ashabul Kahfi (The Seven Sleepers).
Kisah yang sangat masyhur di kalangan umat manusia tersebut berkisah tentang para pemuda yang tergerak hatinya melawan tirani atas nama kemakmuran.
Penyembahan berhala atau kemusyrikan dalam kisah-kisah orang terdahulu sering kali bersinggungan dengan jaminan kekuatan, keamanan, dan kemakmuran suatu negeri.
Artinya, orang tidak akan dilindungi penguasa negeri, tidak pula dijamin keamanannya, dan tidak berhak menikmati kemakmuran negara jika ia tidak melakukan pemujaan terhadap berhala.
Kenapa? Karena kontribusi besar yang menyokong keberlangsungan negara didulang dari sumbangan umat terhadap keberadaan berhala tersebut.
Lho kok?
Jadi begini, berhala yang dianggap sebagai mediator penyampai hajat manusia kepada Tuhan tersebut, harus memenuhi standardisasi agar patut ditampilkan di ruang-ruang pemujaan.
Ini (standardisasi berhala), memberi angin segar bagi penguasa untuk maju berperan sebagai pengakomodir yang menyediakan fasilitas pemujaan.
Tentu, akomodasi tersebut tidak gratis, ada biaya yang harus dikeluarkan umat dalam setiap fasilitas tersebut.
Peribadatan pun kemudian harus distandarkan sesuai ketentuan qanun. Sehingga, penguasa bebas melenggang; mendaku diri sebagai pengatur kebutuhan (peribadatan) tersebut.
Puncaknya, ketika sang penguasa merasa menjadi pahlawan; dihormati dan disanjung oleh banyak orang—oleh karena perannya yang mampu mengakomodir kebutuhan khalayak, ia menganggap diri sebagai tuhan yang dapat menghakimi segala urusan secara absolut.
Mereka yang bersebrangan dengan penguasa, dapat dianggap sebagai pengganggu stabilitas ekonomi negara dan mengganggu eksistensi penguasa.
Maka, keberadaan orang-orang yang demikian haruslah ditiadakan.
Tentu ini menjadi teror dan ancaman bagi manusia pada umumnya yang ingin beribadah secara lurus tanpa embel-embel media berhala.
Nalarnya seperti ini, orang yang beribadah tanpa penggunaan berhala, otomatis dia bisa beribadah di mana pun secara independen, tanpa butuh akomodasi penguasa.
Artinya, secara pragmatis dia tidak lagi nyumbang dana akomodasi dan tidak lagi bergantung kepada raja.
Jika paham ini menyebar ke antero negeri, tentu penguasa akan kelabakan karena akomodasi yang digembar-gemborkan tidak laku, dan pendapatan negara berkurang. Hilanglah taring dan kejayaan sebuah negara.
Duh, apa iya indikator negara yang jaya diukur sesuai prosperity-nya? Rugilah saya manakala terlahir di negara yang miskin.
Kaya atau tidak kaya, makmur atau tidak makmur, tidak berlaku bagi mereka yang memiliki keteguhan hati dan kebulatan tekad; tak ada rasa takut kecuali takut hanya kepada penguasa langit dan bumi.
Begitu kira-kira sikap berani pemuda Ashabul Kahfi untuk nerimo; tidak bergantung pada kemakmuran, padahal status mereka kala itu adalah para penasehat raja. Kurang makmur bagaimana?
Rumusan pemuda sebagai agen perubahan yang oppose terhadap tawaran kemakmuran banyak diimani oleh pejuang keadilan sosial (Social Justice Warrior) dewasa ini.
Hanya yang menjadi catatan, apakah penyuaraan tersebut benar-benar dilandasi keimanan seutuhnya kepada Tuhan, atau hanya menjadi kepentingan pragmatis belaka untuk nyinyir demi ekspansi orientasi?
Wallahu a’lam, tidak ada yang tahu, karena Tuhan akan mengujikan apa yang benar-benar menjadi niatan hati manusia.
Menilik sejarah Sumpah Pemuda yang lahir di tahun 1928, sungguh bukan waktu yang singkat untuk menuju ke tahun 1945.
Butuh setidaknya kurun waktu sekitar dua windu untuk mengkristalkan cita-cita Sumpah Pemuda menjadi Proklamasi Kemerdekaan.
Sumpah yang berikrar untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu; yaitu Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa Indonesia tersebut memberi pemahaman kepada bumiputra bahwa cinta tanah air bukanlah sekedar penentuan nasib diri belaka.
Lebih dari itu, merupakan perjuangan keimanan menjaga martabat bangsa dari tipu-tipu kemakmuran kaum imperialis.
Bisa jadi, kehadiran kaum imperialis membentuk koloni tidak menawarkan berhala kepada penduduk suatu negeri untuk disembah, namun, menawarkan bentuk pemujaan lain yang lebih manusiawi dan mendasar sesuai kebutuhan manusia modern, yaitu kemakmuran.
Adanya iming-iming kaya dan sejahtera yang dikampanyekan kaum imperialis memancing orang berbondong-bondong menuju pada janji kemakmuran secara laten.
Padahal, di sisi lain, tanpa disadari justru mereka telah masuk pada stratifikasi sosial.
Ini yang membuat pemuda di zaman itu dicap sebagai entitas anti kemapanan oleh penguasa kolonial.
Perjuangan mereka dicibir. Pergerakan mereka diawasi. Bahkan kaum sebangsanyapun pada bingung, “ini anak ngapain sih, ngelawan arus banget?” begitu mungkin kalau dibahasakan secara sederhana.
Oleh karena rintangan-rintangan tersebut, kaum muda di zaman itu harus berjuang menggalakkan revolusi sepanjang dua windu lamanya.
Mereka secara intens terus mengimbau segenap penduduk negeri agar tidak terbuai dalam kemakmuran dan melupakan perjuangan menjaga martabat bangsa.
Di akhir kisah, kemerdekaan Bangsa Indonesia telah dapat diraih, meskipun, para pemuda yang memperjuangkannya banyak pula yang mati.
Runtuhlah sudah keangkuhan imperialisme di tanah yang sudah merdeka ini.
Di akhir kisah pula, pemuda Ashabul Kahfi dibangkitkan kembali dari tidur panjang selama 309 tahun.
Tampaklah di sana kekuasaan Allah berupa runtuhnya kedigdayaan penguasa pemuja berhala, tergantikan dengan keimanan penduduk negeri kepada Tuhan yang maha esa.
Namun, para pemuda tersebut justru berdoa agar ditidurkan selamanya, membawa serta romantisme perjuangan mempertahankan iman daripada menikmati hasil perjuangan.
Mari kita tidur!