Narasumber: KH. Mohammad Halim
Mbah Slembaran adalah nama seorang penduduk Kampung Tegalsari ketika baru dirintis. Dia belum juga dikaruniai keturunan hingga lanjut usia. Sudah berbagai cara dia lakukan, berbagai usaha dia tempuh dan berbagai doa dia panjatkan. Sebagai seorang muslim yang hidup di tengah-tengah budaya Jawa waktu itu, berbagai laku tirakat sudah dia praktekkan. Berharap, dengan kesungguhannya mengekang nafsu duniawi, Allah berkenan memberi seorang putra yang akan meneruskan garis keturunannya. Namun setelah ber-tawassul dengan amalan dan tirakat yang begitu berat, harapannya belum jua terkabul.
Akhirnya, dia bertekad melakukan tirakat paling berat, yaitu topo pendem. Topo pendem adalah cara bertapa yang sangat radikal. Mbah Slembaran menggali tanah seluas yang biasa digunakan untuk memakamkan jenazah. Kedalaman galiannya sedikit lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Dia memasang dua papan, yang satu untuk alas bertapa dan lainnya digunakan sebagai atap. Lalu dia meminta anggota keluarganya untuk menguruknya dengan tanah, sehingga terlihat mirip kuburan. Tak lupa, disediakan sebuah lubang sebagai saluran udara dan kiriman makanan.
Maka Mbah Slembaran pun memulai pertapaannya. Mengekang nafsu duniawinya dalam kegelapan pekat. Berada di tempat yang tidak ada apa pun kecuali tanah dan papan. Tak bisa melakukan apa pun, kecuali berdiri, duduk dan berbaring. Tidak ada hiburan atau pengusir kebosanan. Makanan dikirim dalam jumlah terbatas dan tidak berasa. Hanya sekedar untuk tujuan bertahan hidup, bukan untuk memuaskan lidah. Tak tanggung-tanggung, Mbah Slembaran melakukan pertapaan selama empat puluh hari.
Cerita mengenai Mbah Slembaran ini telah kehilangan detail sesungguhnya. Apa yang tertulis pada dua paragraf sebelum ini diambil dari sumber lain mengenai cara topo pendem. Bagi anak-cucu Mbah Slembaran saat ini, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya adalah bagaimana cara Mbah Slembaran beribadah fardhu ketika sedang di dalam tanah. Namun semua anak-cucu ber-khusnudzon, dia tetap melakukan sholat lima waktu dengan satu atau lain cara.
Selama empat puluh hari Mbah Slembaran melakukan topo pendem, setiap hari, salah seorang anggota keluarga akan datang memeriksa keadaaannya. Mereka tidak saling bicara. Melalui perantara sebuah benang atau lidi yang dimasukkan melalui lubang udara adalah cara mereka berkomunikasi. Jika benang yang dimasukkan ke dalam lubang itu menegang dan tertarik ke bawah, artinya Mbah Slembaran masih hidup. Jika begitu, sedikit makanan dan minuman akan diturunkan sebagai bekal buka puasa.
Setelah genap empat puluh hari, lubang tersebut dibongkar oleh keluarganya. Keadaan Mbah Slembaran ternyata tidak terlalu payah. Dia masih sadar dan, meskipun lemah, masih mampu berkomunikasi dan berjalan pelan. Bagi orang zaman sekarang, apa yang dilakukan Mbah Slembaran terasa mustahil dilakukan. Namun cerita ini menunjukkan betapa bangsa ini, terkhusus (dalam cerita ini) suku Jawa, adalah orang-orang yang ahli tirakat. Maksudnya, mereka mempunyai kemampuan untuk menahan diri dari kesenangan duniawi secara ekstrim demi mendapatkan harapannya.
Itulah cara mereka berdoa dulu. Tidak hanya sekedar mengangkat tangan dan mengucapkan permintaan, namun dibarengi dengan menjauhi kenikmatan duniawi. Hal semacam ini sebenarnya bisa dipraktekkan oleh orang zaman sekarang. Meski tentu tak perlu se-ekstrim topo pendem. Cukup dengan melakukan amalan-amalan sunnah semacam qiyamul-lail (sholat malam sebelum tidur), tahajud (sholat malam setelah tidur), puasa senin-kamis atau puasa daud, bersedekah dan lain sebagainya. Selain itu, juga dengan menghindari maksiat dan dosa-dosa kecil. Itu semua dilakukan dalam rangka tawassul bil amal (berdoa lewat perantara amal). Hal ini adalah kebalikan dari nadzar (baru melakukan suatu amalan jika harapan dikabulkan).
Qodarullah, setelah melakukan topo pendem, istri Mbah Slembaran kemudian hamil lalu melahirkan seorang anak laki-laki. Tak terkira bahagia hati Mbah Slembaran mendapati Allah telah mengabulkan doa dan harapannya untuk mendapat keturunan. Anak itu adalah anak semata wayangnya. Dia menamai anak itu Ishaq, sebagaimana nama anak Nabi Ibrahim a.s yang lahir ketika beliau berusia lanjut. Namun karena disesuaikan dengan logat jawa, maka anak itu dipanggil Iskak.
Iskak inilah yang di kemudian hari menikahi putri Kyai Muhammad Thohir, sang Pendiri Kampung Tegalsari. Dari pernikahan mereka, lahirlah anak laki-laki yang dinamai persis sama dengan nama ayahnya, yaitu Iskak. Iskak junior ketika dewasa berhasil menunaikan ibadah haji sehingga lebih dikenal sebagai Kaji Iskak bin Iskak. Selanjutnya, Kaji Iskak dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Intiyah. Intiyah inilah yang kemudian menikah dengan Syafi’i dan melahirkan KH. Naharussurur.