Oleh: Birrul In’am
Ada banyak etimologi disodorkan untuk memaknai kata ‘santri’. Dalam Tradisi Pesantren (2011), sebagaimana dikutip dari laman Republica.co.id (10/17), Zamakhsari Dhofier menjelaskan, terdapat setidaknya tiga asal kata yang dapat menjadi akar kata ‘santri’
Akar pertama adalah ‘cantrik’ (Jawa), orang yang berguru pada orang pandai (pertapa). Dari kata ini dapat kita pahami bahwa santri seyogyanya belajar nilai-nilai religiositas dan spiritualitas.
Akar kedua berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ‘guru’, pembimbing spiritualitas. Dari kata ini dapat kita pahami bahwa santri seyogyanya memiliki niat dan jiwa mu’allim untuk membimbing umat manusia menuju kepada hidayah atau pencerahan.
Akar ketiga berasal dari kata ‘shastri’ (Sansekerta), bermakna orang yang membaca sastra (tertinggi) yaitu kitab suci. Dari akar ini dapat kita pahami bahwa santri tidak pernah jauh dari kitab suci, sebagai barometer menentukan arah tujuan hidup.
Ketiga akar kata tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa penyematan kata ‘santri’ berjalan melalui tiga unsur yang berproses secara simultan, yaitu guru, murid, dan kitab suci.
Jika ketiganya dipisah, kata ‘santri’ akan sulit terejawantah dan bahkan mungkin tidak pernah tercetus ke muka bumi.
Dewasa ini, kata ‘santri’ sangat kuat tersemat pada para pelajar yang menekuni ilmu-ilmu keagamaan (Islam) secara intens di pondok pesantren.
Pemerintah Indonesia bahkan menetapkan tanggal 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional, sebagai langkah peneladanan semangat juang kaum santri dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dari tangan sekutu—pemenang judi Perang Dunia II, yang digaungkan melalui resolusi jihad oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Apakah kemudian fa’al jihad menjauhkan santri dari makna akar katanya? Tidak, masih ada keterhubungan antara ‘resolusi jihad’ dengan kata ‘cantrik’, saat ribuan patron santri Sang Kiai menyambut seruan gurunya dengan semangat syahid, bergerak masif ke Soerabaja untuk mengembalikan kedaulatan bangsa.
Kata ‘santri’ memang tidak ditemukan dalam akar kata Bahasa Arab sebagai bahasa sumber pengetahuan tentang Islam. Meskipun demikian, analogi ‘santri’ dapat ditarik pada kisah Malaikat Jibril yang meminta Nabi Muhammad membaca (iqra’).
Pengertian membaca sebagaimana dijelaskan oleh Alhafiz Ibn Hajar, riwayat Ibnu Ishaq dalam Fathul Bari (718/8) merupakan tindakan melihat serta memahami sesuatu yang tertulis. Artinya, seseorang belum bisa dikatakan benar-benar membaca (iqra’) jika ia belum bersinggungan dengan fa’al melihat dan memahami tulisan.
Dari kesejarahan iqra’ di atas bisa ditarik pengertian bahwa santri pertama dalam Islam ialah Nabi Muhammad yang mengikuti apa yang diucap gurunya, Malaikat Jibril, dalam membaca kitab suci.
Dari kesejarahan tersebut pula makna ‘cantrik’ dan ‘shastri’ melebur mencipta paduan yang membawa pesan perdamaian dunia.
Santri kedua dalam Islam bisa dikatakan adalah para sahabat yang senantiasa menjadi cantrik gurunya (Nabi Muhammad)—senantiasa mengikuti petuah-petuahnya, dan bersamaan dengan hal itu adalah bersama-sama menjadi shastri, yang membaca dan memahami kitab suci di madrasah pertama dalam sejarah Islam, Darul Arqam.
Dan ternyata, Allah pun menakdirkan Darul Arqam sebagai madrasah pertama dalam Islam, yang dalam duga penulis mengatakan hal itu mengandung pesan bahwa santri yang baik ialah mereka yang bukan hanya melakukan proses membaca, tapi juga menulis, nisbat kepada kata ‘arqam’ yang bersumber dari akar kata ‘raqama’ yang berarti menulis, manakala Allah mengajarkan pengetahuan yang belum diketahui manusia melalui pena, melalui proses menulis.
Patut disyukuri jika Hari Santri Nasional menjadi momentum untuk membumikan pesan perdamaian kepada dunia internasional. Hanya, kemegahan itu seyogyanya diimbangi dengan proses membaca, menulis, dan saling berkomunikasi dengan guru. Jika tidak, pesan perdamaian itu hanya menjadi pesan kemegahan belaka dengan ketiadaan ruh santri menyertainya.
Mengutip apa yang pernah disampaikan K.H. Imam Zarkasyi (12/83)
Tentu, kalian sudah mengerti maksudnya. Sampai di situ diterjemahkan, “Tidak semua orang mukmin itu pergi ke perang.” Itu pada waktu perang. Lalu, di era pembangunan bagaimana? Saya mencoba menerjemahkan begini, “Tidak semua orang itu harus menjadi insinyur, tidak semua orang/anak-anak kita ini menjadi dokter, tidak semua harus menjadi ahli hukum. Tidak!”
Lanjut ayat itu, “Hendaknya ada yang tidak pergi berangkat perang, yang tidak menjadi insinyur, yang tidak menjadi doktor.” Ke mana? Mendalami ilmu agama (yatafaqqahu fiddin). Untuk apa? Di sini letaknya. Hati-hati ini. Kalau ayat itu diputus sampai di situ, salah jadinya. Itu belum putus karena di situ ada muta’alliq-nya.
…..
Untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (QS. 9: 122).
Maka, seyogyanya sebagian kita tidak ikut serta merayakan Hari Santri. Ada setidaknya sebagian kita yang memenuhi perpustakaan-perpustakan pondok, ada setidaknya sebagian kita yang duduk menghadap lemari-lemari pondok, ada setidaknya sebagian kita yang khidmat menemani kiai. Untuk apa? Untuk mengingatkan kembali teman-teman kita sepulang dari merayakan Hari Santri, “ingat, kita ini santri!”
Sudah cukupkah perjuangan santri membawa pesan perdamaian kepada dunia di Hari Santri? Belum, kita harus pulang, kembali meneladani kisah para nabi dan sahabat melalui kegiatan literasi.
Jika santri jauh dari peradaban membaca, menulis, dan khidmat kepada guru, bisa jadi kata ‘santri’ mengalami pergeseran makna sebagai kumpulan orang eksklusif yang gila akan prestasi tanpa mengindahkan esensinya sebagai juru penyempurna akhlaq. Selamat Hari Santri Nasional.
Sragen, 17 Oktober 2019