Sebelum berangkat ke Mesir, sebuah keberuntungan saya sempat berjumpa dengan Pak Muchlis Hanafi. Beliau adalah salah satu lulusan doktoral Al-Azhar yang beberapa waktu lalu menjadi penerjemah Menteri Agama dan Presiden RI ketika Raja Salman berkunjung ke Indonesia.
Saat itu bulan puasa tahun 2015, dan beliau menjadi penguji lisan kami—ratusan camaba Timur-Tengah tahun itu. Ada satu momen di mana kami mengantri pinjaman pulpen untuk mengisi daftar hadir. Beliau tepat bertanya kepadaku yang terlihat diam, “mana pulpenmu?”
Saya menjawab akan menulis setelah salah satu anak. Beliau pun menyindir keras dalam bahasa Arab, “kok bisa seorang penuntut ilmu gak punya pulpen di sakunya?”
Degh, malu sekali. Apalagi di hadapan sosok sekaliber beliau. Tapi bagaimana lagi, pulpen saya ketika itu ada di dalam tas yang saya tinggalkan di luar ruangan, karena saya berpikir tidak akan membutuhkannya saat ujian lisan.
“Kalau kalian sudah di Mesir, usahakan pulpen dan kertas selalu ada di tangan, kapanpun dan di manapun,” nasihat beliau selanjutnya yang berusaha saya pegang sampai sekarang.
**
Tentang pentingnya mencatat, siapapun yang pernah belajar Mahfuzhat di pondok pasti kenal nasihat Imam Syafi’i ra. yang satu ini:
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah pengikatnya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja
Bait tersebut sejatinya tidak lain merupakan bentuk lain dari hadis Rasulullah SAW yang berbunyi “ikatlah ilmu dengan menulis”. Lihatlah, Imam Syafi’i begitu brilian mengumpamakan ilmu sebagai kijang buruan. Sudah umum diketahui, kijang terkenal akan kemampuan berlarinya yang sangat cepat. Jika tidak diikat, dalam sekejap saja pasti sudah menjauh bahkan hilang. Begitupun ilmu dalam sebuah majelis. Betapa banyak ilmu yang berhamburan dalam sebuah majelis, yang berarti kita harusnya dengan sigap memburu dan mengikat setiap kalimat dari ilmu-ilmu tersebut dalam tulisan.
Jika belum ada rantai, ikat dulu dengan tali rapia, sambil kemudian mencari rantai yang kuat. Karena kalau menunggu mendapatkan rantai, hilanglah kijang buruan itu, tidak akan mampu dikejar lagi. Begitupun dalam mencatat ilmu, jika belum ada buku tulis, pakai saja kertas bekas. Bahkan Imam Sya’bi ra. berkata, “apabila kamu mendengar suatu ilmu, tulislah meskipun pada dinding.”
Juga apabila belum ada pulpen yang bagus, pakai dulu saja pulpen seadanya atau pensil. Bagaimanapun, arang yang paling buram lebih baik daripada ingatan yang paling tajam.
**
Saat itu, maksud yang saya pahami dari nasihat Pak Muchlis tentang ‘membawa pulpen kemana-mana’ tersebut adalah untuk memudahkan kita mencatat ilmu apapun begitu didapat, supaya tidak keburu lupa atau ketinggalan berita. Namun lambat laun saya menyadari bahwa tujuannya bukan hanya semata untuk mempermudah mencatat, namun juga untuk memotivasi dan menggerakkan. Karena ketika memegang kertas dan pulpen, sedangkan saya berada dalam suatu majelis ilmu, pasti akan ada rasa malu dan risih jika kedua benda tersebut menganggur. Akhirnya saya jadi tergerak untuk mencatat.
Setelah beberapa waktu di Mesir, nasihat tersebut berkembang lagi menjadi “Dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu mempunyai buku catatan khusus yang berisi kumpulan fawaid (yang berkaitan dengan faidah dan keutamaan) yang ia bawa kemanapun ia pergi.” Ada tambahan buku catatan di situ, selain pulpen. Karena para guru dan masyaikh biasanya menyelipkan nasihat tentang keutamaan ilmu atau lainnya di sela-sela mereka mengajar. Seringkali nasihat yang disampaikan itu tidak berhubungan dengan materi yang diajarkan, namun sayang untuk dilewatkan. Maka wajar apabila mengumpulkan nasihat-nasihat semacam itu sangat dianjurkan.
Mencatat ilmu juga merupakan salah satu ikhtiar untuk mempelajarinya sekaligus langkah awal dalam mengamalkan. Sebab banyak catatan sederhana yang memudahkan belajar, juga banyak catatan yang tidak disangka bisa jadi alat menyampaikan ilmu kepada yang belum tahu. Mencatat juga bisa menjadi latihan awal menulis dan merangkai kalimat. Kalau ada yang sampai malas atau tidak biasa mencatat, patut dipertanyakan status penuntut ilmunya.
Catatan saja tidak ada, bagaimana mau belajar?
Mencatat saja malas, bagaimana mau menulis buku?
Saya sangat bersyukur karena pondok menganjurkan mencatat tidak hanya tausiyah tapi juga muhadharah dan khutbatul arsy. Saya jadi terbiasa mencatat panjang, dan tidak ragu lagi untuk segera mengeluarkan pulpen dan kertas di majelis manapun.
Di masa ini, mencatat adalah salah satu dari beberapa adab majelis ilmu yang mungkin sudah kita lupakan. Sering orang datang ke majelis ilmu namun tidak serius, dengan niat santai-santai, mengobrol, bahkan sekedar ngumpul bersama kawan. Semoga niat ini bisa diperbaiki agar kita semua mendapatkan kemudahan dan keberkahan ilmu seperti yang sejak awal dicita-citakan. (Choirotin Nur latifah)
[Akrab Edisi 5 | Agustus 2017 ]