Oleh Zainab Al-Jizawi
“Hei! Curang! Kau mencuri ramuanku!” Protesku pada Zen, teman onlineku.
“Siapa suruh menaruhnya sembarangan?” Balas Zen sambil terus memanahku hingga aku mati.
“Ahahaha… aku menang!” Zen memamerkan berlian yang ia dapatkan.
“Ya, ya, kamu sedang beruntung.” Responku malas.
“Sudah dulu ya, teman-temanku sudah datang. Terima kasih sudah bermain.” Tutup Zen, lalu ia offline.
***
“Muthia, ambilkan biskuit di lemariku dong…” pinta Kak Areon.
“Hmmm.” Aku mengambilkan apa yang Kak Areon minta.
Kak Areon mengambilnya lalu pergi. Ia bahkan tidak memakai kata tolong saat menyuruhku tadi. Dan ia juga tidak berterima kasih padaku. Itu membuatku kesal. Jadi aku jarang berbicara dengannya.
***
“Clarie, cewek kalau cuek gitu maklum nggak sih?”
Aku langsung diberi pertanyaan aneh oleh Zen begitu aku bergabung dengan servernya.
“Eng… pasti ada sebabnya.” Kujawab begitu, karena memang aku cuek juga ada penyebabnya.
“Hmmm, aku memiliki adik. Kata temannya, dia gadis periang dan peduli dengan orang lain. Tetapi, mengapa ia tidak peduli dan sangat jarang berbicara padaku? Apa kesalahanku?” Tulis Zean lagi.
“Cobalah untuk berbicara duluan.” Saranku.
Aku tak tahu apa lagi yang kurasakan. Aku merasa, ada hal yang tiba-tiba akan berubah.
“Atau kamu juga harus peduli dengannya. Perempuan butuh dipedulikan sebelum ia peduli dengan orang lain. Apalagi seorang adik.” Lanjutku, entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu.
“Oh, terima kasih. Mari kita bermain.” Ajaknya menyudahi percakapan online tadi.
“Mari!” Akupun bertarung lagi dengan Zen.
***
“Muthia, bagaimana dengan sekolahmu?” Sambut Kak Areon tiba-tiba.
Aku terkejut. Baru saja aku memarkirkan sepeda, kak Areon langsung memberi pertanyaan yang belum pernah ia tanyakan. Aku mengabaikannya dan pergi ke kamarku.
Semakin hari, kakakku semakin aneh. Ia jadi sering menanyakan macam-macam. Mulai dari sekolah, tugas, teman-teman, mau makan apa, bahkan masalah sepele sudah mandi atau belum.
***
Hari ini hari minggu. Aku bisa bebas dari rumah. Kecuali kalau kakak menggangguku. Dan benar saja, ia masuk ke kamarku dengan memakai pakaian olahraga.
“Muth, jalan-jalan yuk.” Ajaknya.
Aku hanya menggeleng.
“Ayolah….” Ia terus membujukku. Akhirnya aku mengikuti ajakannya.
***
“Kak…” Panggilku pelan.
“Ya?” Kak Areon langsung menatapku dengan mata berbinar.
“Kakak kok jadi agak… um… aneh?” Tanyaku hati-hati. “Ada masalah?” Sambungku.
“Hah?” Kak Areon tampak heran.
“Um… itu… dulu kakak biasanya nyuruh-nyuruh, jarang keluar kamar, dingin, sekarang kok… um… gimana ya?” Aku gagal menyusun kata-kata. Kalimatku berantakan.
“Ah… itu…” Kak Areon terdiam sebentar, kemudian melanjutkan. “Sebenarnya, kakak tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tetapi, kamu terlalu cuek pada Kakak. Kakak jadi dingin padamu, karena Kakak tak tahu harus bagaimana saat berbicara padamu. Kakak sering di kamar untuk mengerjakan tugas, istirahat, refreshing, dan bermain game.” Kak areon mulai menjelaskan.
Kemudian, ia melanjutkan. “Saat bermain game, Kakak mencoba meminta saran dari teman online Kakak, yang kebetulan seumuran denganmu. Jadi kupikir ia bisa mengerti dirimu. Dan benar saja, dia memberiku saran yang cukup bagus. Meski ragu, Kakak mulai mencoba melakukannya. Ternyata cukup berhasil.”
Kak Areon tersenyum.
Aku terkejut. Cerita itu…. seperti antara aku dan Zen.
Aku ragu. Aku memberanikan diri untuk bertanya, setelah menyingkirkan beberapa pikiran aneh yang terlintas.
“Siapa… um… nama teman online kakak?” Tanyaku.
“Clarie.” Jawab Kak Areon.
Aku tersentak.
“ZEN!!!”