Nama saya Muhammad Rozan Syafiq. Saya lahir di Jakarta tanggal 6 Juli 2005. Saya dirawat oleh kedua orang tua saya yang bernama Ibu Barokatun dan Bapak Basirun. Masa kecil saya dihabiskan di MI Muhammadiyah Jabung yang letaknya tak jauh dari rumah, sekitar 50 meter. Saya mengenal pondok ini dari kakak saya, yaitu Arsyad Naufal Syafiq yang sekarang mengabdi di Pondok Al-Musyaddad Klaten, di bawah asuhan K.H. Fatih Samadi.
Sebenarnya, sebelum masuk Pondok Pesantren Ta’mirul Islam, saya sudah mengenalnya karena sering menjenguk kakak saya. Saya pikir, masuk pondok adalah sebuah hal yang menyenangkan. Namun ternyata, menjadi santri baru adalah hal yang berat. Hari pertama saya di pondok, rasanya seperti satu tahun lamanya. Waktu itu saya merasa seperti dikurung, karena saya terbiasa bebas di rumah. Namun, semua cobaan itu saya hadapi dengan sabar, karena saya memiliki tujuan di pondok ini, yaitu membanggakan orangtua, mendapatkan beasiswa ke Mesir, dan menjadi hafiz Al-Qur’an.
Bukan hanya karena itu, saya dapat bertahan hingga sekarang juga berkat suport dari teman-teman. Mereka men-suport saya kerena melihat saya menangis saat kelas satu, sehingga lama-kelamaan saya menjadi kerasan.
Bertahannya saya di pondok ini menghasilkan berkah. Saya mendapatkan hadiah akselerasi dari Pimpinan Pondok. Waktu itu, di ujung masa kelas 2 KMI, tepatnya setelah UTS genap, saya dipanggil oleh staff KMI, yaitu Ust. Agus Setyawan. Kemudian saya ditanya apakah ingin langsung naik ke kelas 3 Tks KMI (setara 4 KMI), karena nilai rata-rata saya 9,2. Jika saya mau, kata ustadz, saya bisa direkomendasikan kepada pimpinan pondok. Saya menjawab bahwa saya ingin bertanya kepada kedua orangtua terlebih dahulu.
Beberapa malam kemudian, saya mendapatkan mimpi. Semua santri berkumpul, kemudian ada ustadz yang mengumumkan bahwa saya naik kelas secara akselerasi tanpa melalui kelas tiga. Saat itu, saya menganggap mimpi itu hanya bunga tidur saja.
Sebelum perpulangan, seperti biasa diadakan tausiyah etiket untuk santri.
Saat itu Pimpinan Pondok, K.H. Mohammad Adhim M.Pd bertanya, “Mana yang namanya Rozan?”
Saya mengangkat tangan kemudian berdiri.
Setelah itu, beliau berkata, “Kami, Pimpinan Pondok, memberimu hadiah karena kamu mendapat nilai tertinggi, 9,2, di antara seluruh santri. Kami memberimu kesempatan untuk langsung naik ke kelas 3 Tks KMI. Tapi dengan syarat kamu tidak mengikuti Ujian Nasional.”
Setelah itu, saya bermusyawarah terlebih dahulu dengan orangtua. Mereka menyerahkan keputusan akhir kepada saya, tetapi mereka memberi saran untuk menerima hadiah tersebut. Sebenarnya, saya berat meninggalkan teman-teman yang sudah bersama selama dua tahun ini. Namun, karena saya mengutamakan birrul walidain, dan setelah ber-istikharah, hadiah tersebut saya ambil.
Sampai sekarang, saya masih belum nyaman berada di kelas 3 Tks, karena belum terbiasa dengan pelajaran yang dipercepat. Serta ada perasaan tidak enak dengan teman saya dulu. Masuk pondok bersama-sama, tetapi sekarang saya kakak kelas mereka. Saya juga kangen dengan suasana kelas seperti dulu. Alhamdulillahnya, saya masih bisa bermain dengan mereka di luar kelas.
Namun saya memiliki moto, “Bi qodri ma ta’tani, tanalu ma tatamanna.” “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu.” Saya akan selalu berusaha lebih dan lebih keras lagi, sehingga bisa menjadi manusia yang berhasil.
(Ditulis oleh Sofi berdasarkan wawancara dengan Rozan Syafiq. Naskah diedit oleh Opik Oman)