Kisah ini diceritakan oleh Ust. Ya’qub Mubarok dari ibundanya. Peristiwa ini terjadi pada hari penyambutan kedatangan santri baru tahun ajaran 2005/2006. Saat itu Ust. Ya’qub Mubarok merupakan salah satu santri baru yang akan mondok di PPTI. Dia datang bersama keluarga dari Wonosobo. Dia hendak melanjutkan menuntut ilmu di pesantren setelah lulus SMP. Dia akan masuk di kelas 1 takhasus.
Ketika sampai di PPTI, Ust. Ya’qub cukup kaget dengan prosedur pendaftaran ulang yang harus dilakukan. Ibunda Ust. Ya’qub agak heran karena selama ini, bukan begitu cara memasukkan anak ke pesantren yang dia ketahui. Di daerah Wonosobo, biasanya orangtua yang hendak memasukkan anaknya ke pesantren akan melakukan sowan pada kyai terlebih dahulu. Mereka akan mengutarakan niat mereka pada kyai. Lalu kyai akan memutuskan apakah akan menerima atau menolak si Anak. Itu sudah menjadi tradisi di Wonosobo.
Berbeda dengan di PPTI. Para santri baru tidak diharuskan untuk menghadap kyai terlebih dahulu. Mereka segera diarahkan untuk menyelesaikan administrasi, lalu mendapatkan kamar kemudian menerima kunci almari. Setelah itu, mereka bersama wali mereka akan segera menuju kamar masing-masing lalu menata barang bawaan mereka di almari. Perbedaan itulah yang membuat ibunda Ust. Ya’qub terheran-heran.
Pada saat mereka baru saja sampai di PPTI, ibunda Ust. Ya’qub merasa ingin buang air kecil. Dia segera bertanya pada salah santri kelas enam KMI letak kamar mandi. Dia diarahkan ke kamar mandi Kyai Nahar yang saat itu berada di samping gerbang depan yang sekarang sudah menjadi kamar mandi tamu.
Saat itu Kyai Nahar juga baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang berbicara dengan seseorang sambil berdiri di sekitar tempat itu. Beliau memakai kaos oblong putih polos yang tipis dan sarung. Ibunda Ust. Ya’qub belum tahu bahwa orang yang berpapasan dengannya adalah kyai pimpinan pondok PPTI. Apalagi melihat apa yang dikenakan oleh Kyai nahar. Sehingga tak terbersit sedikit pun pikiran bahwa beliau adalah sang Kyai. Ibunda Ust. Ya’qub hanya melihat seorang kakek sepuh dengan wajah teduh dengan pakaian sederhana dan kulit basah oleh air wudhu.
Setelah mengurus barang-barang Ust. Ya’qub, sang Ibunda hendak pulang. Namun dia belum merasa plong jika belum memasrahkan Ust. Ya’qub kepada kyai secara langsung. Maka dia mengajak anaknya untuk sowan kepada kyai dulu. Baru setelah itu dia akan pulang.
Sang Ibunda bertanya kepada seorang ustadz letak kediaman Kyai Nahar. Ketika akhirnya ditunjukkan, dia sama sekali tak mengira bahwa rumah mungil di dekat gerbang yang sejak tadi dia lewati adalah tempat tinggal Kyai Nahar. Dia kaget, terharu dan kagum. Selama ini, dia beranggapan rumah kyai pasti bagus, luas dan cukup mewah.
Ketika akhirnya masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Kyai Nahar, dia semakin kagum. Ternyata kakek sepuh yang bersahaja di depan kamar mandi tadi adalah sang Kyai. Penampilan Kyai Nahar juga sangat sederhana. Hanya memakai peci, berbaju batik sederhana dan sarung. Berbeda sekali dengan bayangan sang Ibunda mengenai sosok kyai yang seharusnya memakai jas, berkalung sorban, berpakaian dari bahan yang mahal dan berbau harum semerbak.
Sang Ibunda kemudian memasrahkan Ust. Ya’qub kepada Kyai Nahar. Kyai Nahar menerima pasrahan itu sambil mengucapkan terima kasih telah dipercaya untuk mendidik anaknya.
Setelah kejadian itu, sang Ibunda masih terus saja terngiang-ngiang oleh kesederhanaan Kyai Nahar yang berbeda dengan kyai-kyai yang pernah dia temui selama itu. Dia semakin yakin bahwa dia telah menyerahkan anaknya untuk dididik oleh sosok yang tepat.
Sosok yang penuh dengan keikhlasan, kesadaran, kesederhanaan, keteladanan dan kasih sayang.
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Ust. Ya’qub Mubarok)