berdasarkan wawancara dengan K.H Mohammad Halim
Kyai Nahar adalah contoh teladan seorang santri yang tetap bertahan mondok meski berbagai kesulitan beliau alami. Motto beliau saat mondok adalah, “Jangan putus sebelum putus.” Artinya beliau tidak akan berhenti berusaha hingga tak ada jalan keluar. Motto beliau ini selaras dengan bunyi mahfudlot, “Man jadda wajada.” (Barang siapa yang bersungguh-sungguh akan mencapai tujuannya.)
Ujian dan cobaan yang dialami Kyai Nahar selama menempuh pendidikan di pondok tidak main-main. Jauh lebih berat dibanding santri pada umumnya. Meski begitu, beliau tidak bersikap manja dan mencari-cari alasan untuk keluar. Malahan, beliau bertekad untuk bertahan dalam setiap kesulitan. Itulah yang membuat beliau menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Karena orang-orang besar adalah mereka yang telah tertempa oleh berbagai cobaan.
Berikut ini beberapa kesulitan yang beliau alami untuk kita renungkan dan bandingkan dengan diri sendiri. Sehingga kita bisa lebih semangat dan tidak mudah putus asa ketika tertimpa berbagai masalah.
- Selama mondok, Kyai Nahar tak pernah dijenguk.
Kyai Nahar menempuh pendidikan di dua pondok. Pertama, Pondok Almuayyad. Kedua, Pondok Modern Darussalam Gontor. Di dua tempat tersebut, beliau menghabiskan waktu kira-kira sembilan tahun lamanya dan selama itu pula beliau tidak pernah dijenguk oleh siapa pun. Orangtua beliau sudah wafat saat beliau kecil. Ketika teman-temannya yang lain selalu dijenguk setiap bulan (bahkan ada yang setiap pekan) oleh orangtua mereka, Kyai Nahar hanya menggigit bibir dan menelan kegetiran dalam kesendirian.
- Selama mondok, Kyai Nahar tidak pernah jajan.
Biaya pendidikan Kyai Nahar untuk mondok ditanggung oleh KH. Asngari (paman beliau). Namun KH. Asngari hanya mampu memberikan sebatas uang sekolah dan uang makan saja. Tidak mampu memberikan uang jajan. Jadilah Kyai Nahar tidak pernah jajan selama sembilan tahun di pondok. Setiap kali teman-temannya berombongan menuju kantin untuk jajan, Kyai Nahar hanya bisa melihat sambil berharap suatu saat bisa bergabung dengan mereka (yang ternyata tak pernah kesampaian).
- Kyai Nahar meminum air sumur untuk menahan lapar.
Karena tidak punya uang jajan, Kyai Nahar sering menahan lapar. Bahkan sewaktu di Almuayyad, beliau hanya makan dua kali sehari, karena pihak pesantren hanya menyediakan makan siang dan makan malam. Sedangkan untuk sarapan, para santri dibebaskan untuk membeli di warung-warung sekitar pondok. Setiap kali rasa lapar sudah tak tertahankan, Kyai Nahar akan pergi ke sumur, menimba air, lalu mengisi perutnya dengan air mentah. Setidaknya, itu bisa sedikit mengurangi rasa melilit yang beliau rasakan.
- Kyai Nahar difitnah mencuri.
Saat duduk di kelas lima KMI. Kyai Nahar dituduh oleh teman-temannya telah mencuri uang. Mungkin karena waktu itu, Kyai Nahar dianggap paling miskin dan paling berpotensi melakukan pencurian. Meski tidak ada bukti dan beliau telah menyanggahnya, namun pihak Gontor tetap menghukum beliau dengan cara dikeluarkan dari pondok.
Beberapa bulan kemudian, pencuri yang sebenarnya tertangkap. Maka Kyai Nahar diundang untuk masuk Gontor kembali. Namun beliau baru bisa masuk di tahun ajaran berikutnya. Alias, beliau terpaksa tinggal kelas.
Meski terdholimi sedemikian rupa, Kyai Nahar tetap ikhlas dan sabar dalam menghadapi ujian itu. Atas karakter beliau yang kuat itu, Kyai Zarkasyi (Pimpinan Gontor waktu itu) memutuskan untuk memberi kepercayaan Kyai Nahar mengelola keuangan pondok. Itu sekaligus untuk membersihkan nama baik beliau, karena masih ada saja sebagian santri yang menganggap beliau pencuri.
Demikian di atas, berbagai cobaan yang dialami oleh Kyai Nahar selama mondok. Semoga tekad beliau untuk terus berusaha dalam mencapai tujuan bisa kita teladani bersama. Aamiin.
(Opik Oman)
[AKRAB Edisi 6 | September 2017]