Berdasar wawancara dengan Karomah Betty
Kyai Nahar sudah yatim-piatu sejak kecil. Kira-kira ketika berumur empat tahun, ayahanda beliau meninggalkan dunia menyusul ibunda yang telah lebih dulu pergi dua tahun sebelumnya. Maka, jadilah beliau dan dua saudaranya menjalani sisa masa kanak-kanak yang masih panjang itu tanpa belaian kasih orang tua.
Sebagai anak yatim piatu, kehidupan masa kecil Kyai Nahar diliputi banyak kesulitan. Ketika anak-anak lain tak pernah memikirkan kebutuhan dan ‘tinggal minta’ pada orangtua, Kyai Nahar cilik harus berusaha sendiri untuk mendapat makanan. Kadang beliau membantu orang menjual dagangan, kadang beliau melaksanakan suatu tugas untuk mendapat sedikit upah.
Tidak hanya masalah kehidupan sehari-sehari saja, untuk kebutuhan tempat tinggal pun, Kyai Nahar tidak memiliki rumah. Beliau dan dua saudaranya tinggal menumpang pada kerabat orangtua mereka. Tidak bersama-sama, namun terpisah-pisah. Jadi, bahkan beliau pun tidak bisa berkumpul bersama sisa keluarganya. Rasanya seperti hidup sendiri. Meski tetap ada saja kerabat yang memperhatikan, namun tidak bisa disamakan dengan perhatian orangtua kandung.
Pada saat menempuh pendidikan di SD Djama’atul Ikhwan Surakarta, Kyai Nahar sering tinggal menumpang di rumah Pak Yasin, salah seorang kerabat orangtua beliau. Meski kadang, beliau juga bermalam di rumah Kyai Asngari, yang ketika dewasa akan menjadi mertua beliau. Beliau kadang juga bermalam di masjid, dan di mana saja asal memungkinkan.
Kyai Nahar tak pernah melupakan jasa Pak Yasin yang memperbolehkannya tinggal menumpang. Tidak hanya sekedar tinggal menumpang, Kyai Nahar juga sering diberi makan oleh Pak Yasin. Padahal, Pak Yasin bisa dikatakan bukan orang yang kaya. Penghasilannya hanya sekedar cukup untuk menghidupi keluarganya.
Puluhan tahun kemudian, gantian Pak Yasin yang mendatangi Kyai Nahar. Waktu itu Kyai Nahar sudah mendirikan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Jumlah santri sudah ratusan, dan beliau bisa dikatakan mempunyai pemasukan yang lebih dari cukup, apalagi jika menilik kehidupan beliau yang sangat sederhana.
Apa alasan Pak Yasin pergi mendatangi anak asuhnya dulu? Rupa-rupanya Pak Yasin hendak mengungkapkan sebuah persoalan. Beberapa hari sebelumnya, salah satu cucu perempuannya meminta uang untuk membeli seragam olahraga. Kenapa anak itu meminta pada kakeknya? Karena ayahnya, yaitu anak dari Pak Yasin, sudah meninggal lebih dulu. Jadi anak itu tidak tahu lagi siapa yang bisa dimintai uang, sementara ibunya juga berpenghasilan minim.
Cucu Pak Yasin ini ternyata ‘mondok’ di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Sementara seragam olahraga yang dia butuhkan adalah seragam yang diwajibkan untuk dimiliki seluruh santri. Maka itulah alasan, mengapa Pak Yasin menghadap Kyai Nahar. Mungkin saja Kyai Nahar akan memberi keringanan, mungkin dengan cara mencicil, atau cara lain. Yang penting, cucunya bisa segera mempunyai seragam, sehingga tidak merasa rendah diri di antara teman-temannya.
Namun yang dilakukan Kyai Nahar lebih dari itu. Beliau memanggil cucu perempuan Pak Yasin, yang adalah salah santrinya.
Setelah si Santri menghadap, beliau bertanya, “Apa kamu belum punya seragam olahraga?”
Santri itu pun meng-iya-kan dengan raut malu-malu.
Lalu beliau mengulurkan tangannya yang menggenggam beberapa lembar uang.
“Ini … untuk membeli seragam,” kata beliau singkat. Memang demikianlah karakter beliau. Selalu hemat kata. Bahkan saat mengisi tausiah.
Alangkah gembiranya si Santri tiba-tiba mendapat uang untuk membeli seragam. Apalagi uang itu dia peroleh dari sang Kyai sendiri. Dia merasa sangat diistimewakan. Di antara seluruh santri pada waktu itu, hanya dia yang dibelikan seragam oleh Kyai.
Itulah salah satu balas budi Kyai Nahar terhadap orangtua asuhnya dulu. Meski apa yang beliau lakukan belum sebanding.
Sejak saat itu, cucu Pak Yasin ini mendapat perhatian lebih dari Kyai Nahar dibanding santri-santri pada umumnya. Beberapa kali, saat lebaran, beliau akan memanggilnya dan memberinya uang saku tambahan.
Setelah dewasa pun, akhirnya cucu Pak Yasin ini dinikahkan oleh Kyai Nahar dengan salah satu cucunya sendiri. Ketika hendak menikahkan, beliau berkata kepada cucunya, “Yang bakal kamu nikahi ini adalah cucu dari orang yang mengasuhku dulu saat kecil. Sekarang gantian, kamu yang akan mengasuhnya.”
Begitulah bentuk balas budi Kyai Nahar terhadap orang-orang yang telah berjasa padanya. Tidak hanya kepada orang yang bersangkutan langsung, bahkan juga kepada kerabat orang tersebut. Hal itu menandakan kemuliaan akhlak beliau.
Dikatakan, orang yang mulia adalah orang yang tak pernah melupakan budi. Bahkan budi sekecil apa pun. Contohnya, sebuah ilmu yang disampaikan oleh seorang ustadz adalah sebuah budi. Maka hendaklah setiap santri meneladani akhlak beliau, dengan memuliakan para ustadz yang telah berjasa besar mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada mereka.
Wa Allahu a’lam (Opik Oman)
[Akrab Edisi 5 | Agustus 2017]