Namaku Riskaldila Zahra Rahadyana. Aku seorang gadis sederhana yang lahir di Surakarta pada tanggal 6 Desember 2000. Aku punya orangtua yang menyayangiku. Ayahku, Singgih Herlambang, dan ibuku, Siwi Budi Astuti, mereka begitu mendukungku, hingga akhirnya aku bisa terpilih sebagai peserta ujian amaliah tadris perdana.
Apa sih, istimewanya jadi peserta perdana? Untuk menjawab itu, harus tahu dulu tentang amaliah tadris. Jadi amaliah tadris itu arti sederhananya praktik mengajar. Setiap alumni Ponpes Ta’mirul Islam dituntut untuk mampu mengajar. Karena KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyat) itu artinya persemaian guru-guru Islam.
Ketika kami duduk di kelas akhir, kami mulai melakukan praktik mengajar ini. Kami belajar untuk mengajar adik-adik kelas kami. Terutama kelas 1 dan kelas 2 KMI. Menjelang akhir tahun ajaran, sebelum ujian akhir, kami diharuskan mengikuti ujian amaliah tadris. Satu per satu, kami diharuskan menampilkan kemampuan mengajar kami di hadapan ustadz penguji.
Ujian amaliah tadris berlangsung berhari-hari. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap hari, hanya ada dua orang dari setiap kelompok yang diuji. Sementara yang lain hanya memperhatikan sembari memberi kritikan setelahnya.
Itu ujian amaliah tadris biasa. Berbeda dengan ujian amaliah tadris perdana atau pertama. Salah satu dari kami harus menjadi satri pertama yang diuji. Tekanan menjadi peserta amaliah tadris perdana berbeda sekali dengan ujian amaliah tadris biasa. Alasannya, karena ujian amaliah tadris perdana juga menjadi semacam seremonial pembukaan. Jadi yang menyaksikan tidak hanya ustadz penguji dan beberapa teman sekelompok, tapi bisa dikatakan, seluruh penghuni pesantren akan menyaksikan.
Terbayang ‘kan bagaimana tekanan yang harus aku hadapi. Ujian di hadapan ustadz saja sudah membuatku grogi setengah mati, apalagi harus diuji di hadapan seluruh penghuni pesantren. Jika ada kejadian yang memalukan, bisa membuat trauma seumur hidup.
Itu dia istimewanya amaliah tadris perdana. Dan ternyata akulah yang ditunjuk oleh dewan asatidz untuk menjalaninya. Ini sungguh di luar dugaan dan keinginanku. Aku tentu saja ingin menjalani ujian yang biasa, karena tekanannya lebih ringan.
Selain itu, sejak dulu, santri yang terpilih untuk menjalani ujian amaliah tadris perdana selalu santri yang mempunyai kompetensi tinggi dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, aku merasa tidak pantas. Aku merasa masih banyak teman-temanku yang lebih pantas. Aku masih banyak kekurangan. Hal itu membuatku sedikit minder. Namun kemudian aku meyakinkan diri, bahwa tentu dewan asatidz mempunyai pertimbangan yang sudah dipikirkan masak-masak sebelum memilihku. Mungkin mereka melihat sesuatu dalam diriku yang malah tidak kulihat.
Maka, apa boleh buat, apapun yang diamanahkan ustadz pada kita harus kita jaga dengan sungguh-sungguh. Aku berusaha menaati dan menjalani prosesnya dengan sungguh-sungguh. Karena aku masih ingat mahfudzot yang pertama kali kupelajari. Man jadda wajada. Barang siapa bersungguh-sungguh, akan berhasil.
Aku mulai mempersiapkan diri. Aku bertanya kepada ustadz asli mata pelajaran yang hendak kuajarkan, materi apa yang harus kusampaikan kepada murid-murid beliau. Setelah mendapat materi, aku mulai menyusun rencana pembelajaran detail. Aku tulis apa saja yang akan kuucapkan mulai sejak masuk ke dalam kelas hingga akhir pelajaran. Aku juga menulis soal-soal evaluasi untuk para murid. Selama penulisan rencana pembelajaran, aku terus berkonsultasi dengan para pempimbingku. Yang tak lain adalah direktur KMI Putri sendiri, yaitu Ust. Suwardi Sechan dan Usth. Mernawati. Mereka berdua sangat mendukungku. Mereka menyemangati dan membesarkan hatiku.
Alhamdulillah, teman-teman semua juga mendukungku. Mereka membantuku dengan baik. Mereka secara suka rela mau berpura-pura jadi murid sementara aku berlatih mengajar. Mereka ternyata ikut khawatir jika aku gagal atau melakukan hal yang memalukan saat ujian. Aku sempat lupa bahwa aku perwakilan teman-teman seangkatanku. Jika aku berperforma buruk, tentu yang malu tidak cuma aku, tapi seluruh angkatanku. Hal ini memberiku tambahan semangat untuk terus menyempurnakan diri.
Akhirnya tibalah waktu ujian. Meski telah mempersiapkan diri sebaik mungkin, tetap saja aku grogi ketika benar-benar berada di hadapan begitu banyak orang. Mereka semua penasaran, bagaimana aku akan mengajar murid-murid kelas 2 KMI di hadapanku.
Alhamdulillah, dengan doa orang tua, lambat laut rasa grogi itu berkurang dan aku bisa menguasai diri untuk menampilkan performa terbaik. Walau gugup tak hilang sepenuhnya dan tak jarang keluar suara “eh” dari mulutku, tetapi secara keseluruhan, aku melakukannya dengan baik. Para ustadz dan ustadzah puas dengan aksiku dan memberiku nilai mumtaz alias istimewa.
Setelah semua berakhir, aku menjadi sangat lega. Aku pun bersyukur telah diberi kesempatan untuk mengalami pengalaman yang hebat ini. Buat adik-adik kelasku yang suatu saat nanti akan terpilih menjalani amaliah tadris perdana sepertiku, pesanku, “Semangat! Jalani saja. Jadilah dirimu sendiri!”
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Riskaldila Zahra)