Pada setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, umat Islam memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Peringatan tersebut telah menjadi hari libur nasional di Indonesia dan biasa disebut dengan istilah Maulid Nabi. Banyak acara diadakan saat hari Maulid Nabi. Terutama pengajian-pengajian akbar di berbagai kota dengan mendatangkan penceramah-penceramah yang kompeten.
Bagi umat Islam, memperingati Maulid Nabi seharusnya tidak sekedar ikut hadir di pengajian, bersholawat, dan mendengarkan sirah nabawiyah, meskipun ketiga hal itu merupakan hal-hal yang baik. Peringatan Maulid Nabi juga seharusnya mampu membuat kita menjadi hamba Allah yang lebih baik dengan cara mengambil hikmah dari peringatan tersebut.
Pada Maulid Nabi, banyak kaum muslim memperbanyak sholawat sebagai tanda cinta kepada Rasulullah SAW. Hal ini adalah hal yang sangat dianjurkan. Sholawat merupakan salah satu dari tiga dzikir penting. Dua dzikir lainnya adalah bacaan istighfar dan bacaan tasbih, hamdalah, kalimat tauhid, dan takbir yang dirangkai menjadi satu.
Namun lebih dari itu, hikmah terpenting dari Maulid Nabi adalah bagaimana agar pribadi dan akhlak Rasulullah SAW juga tercermin pada diri kita. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seseorang mengidolakan seorang artis atau tokoh, mereka akan mencoba untuk meniru tingkah laku, gaya berpakaian maupun cara bicara tokoh yang dimaksud. Begitu pula jika ada orang yang mengaku mencintai Rasulullah SAW. Tentu saja seharusnya dia berusaha meneladani beliau dalam segala hal.
Umat Islam yang baik tentu akan berusaha meneladani akhlak Rasulullah SAW. Baik dalam perbuatan-perbuatan harian, seperti cara makan, tidur, masuk kamar mandi, dll, dan perbuatan-perbuatan yang menyangkut masalah bela agama. Salah satunya adalah berdakwah.
Allah SWT telah menurunkan wahyu berupa Surat Yusuf ayat 108.
“Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku, aku menyeru (manusia) kepada Allah, di atas hujjah yang nyata. Aku dan siapa pun yang mengikutiku.”
Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk berkata, “Inilah jalanku.” Maksudnya adalah jalan hidup, cara hidup Rasulullah SAW. Yaitu da’wah ila Allah. Menyeru manusia kepada tauhid. Bahwa tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali Allah SWT, dan tidak ada sekutu bagi Allah SWT. Da’wah ila Allah ini dilakukan di atas bashirah. Artinya, dakwah dilakukan dengan hujjah-hujjah yang nyata dan argumentasi-argumentasi yang kuat dan tak terbantahkan.
Dan tugas dakwah ini tidak hanya berada di bahu Rasulullah SAW saja, tapi juga umatnya. Dalam ayat di atas, disebutkan, “Aku dan siapa pun yang mengikutiku.” Maksudnya, jalan hidup Rasulullah SAW adalah da’wah ila Allah, dan itu juga harus menjadi jalan hidup orang-orang yang mengikutinya, yaitu umatnya.
Oleh sebab itu, jika hikmah terbesar dari peringatan Maulid Nabi adalah ‘lahirnya pribadi Rasulullah SAW dalam diri kita.’ Maka salah satu yang paling menonjol dari pribadi Rasulullah SAW adalah dia tak pernah berhenti berdakwah, menyeru kepada tauhid hingga akhir hayatnya.
Sebagai umat Islam dan sebagai orang-orang yang mengaku mencintai Rasulullah SAW, dan mengaku siap meneladani dan mengikutinya, maka seharusnya da’wah ila Allah harus menjadi jalan hidup kita. Apapun posisi kita, apapun pekerjaan kita, bagaimana pun keadaan kita, da’wah ila Allah tidak boleh kita tinggalkan. Dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara, sesuai dengan kapasitas setiap orang. Seorang mubaligh berdakwah dengan ceramah-ceramahnya, seorang pengusaha berdakwah dengan mengadakan pengajian-pengajian untuk karyawannya, dan lain sebagainya.
Bahkan sekarang ini, dengan adanya media sosial, dakwah bisa dengan begitu mudah dilakukan. Bagi kita yang mempunyai media sosial, harus kita pahami bahwa media itu akan bermanfaat bagi kita di dunia dan di Akhirat jika kita gunakan untuk berdakwah.
(Ditulis oleh Opik Oman, dikembangkan dari tausiah KH. Mohammad Halim)