Pada tahun 1988, saya membutuhkan pekerjaan. Maka saya pergi ke Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Waktu itu saya hanya seorang pemuda biasa; tidak kuliah, tidak mondok, hanya lulusan SMA. Jadi sebenarnya saya tidak bisa mengajar atau menjadi ustadz. Saya ke Pondok karena KH. Mohammad Halim adalah teman masa kecil saya. Kami dulu biasa bermain bersama. Salah satu kegiatan favorit kami dulu adalah berenang di kolam ikan milik KH. Asy’ari, kakek KH. Mohammad Halim.
Saya ke Pondok karena saya berharap, mbok menowo, kali saja, dia bisa membantu saya mendapat pekerjaan, entah sebagai apa. Waktu itu dia belum menjadi pimpinan pondok. Saat itu yang menjadi pimpinan pondok adalah Kyai Nahar, ayahnya. Maka KH. Mohammad Halim berkata kepada saya, “Coba tanya Bapak. Semoga ada pekerjaan.”
Maka saya pun menghadap beliau. Kami sudah saling mengenal. Tentu saja karena saya adalah teman masa kecil anaknya yang dulu sering beliau lihat berlarian dan berenang di sekitar rumah. Selain itu, saya juga sama seperti beliau, adalah warga kampung Tegalsari. Beliau menyambut kedatangan saya dengan ramah. Beliau menanyakan tujuan saya sowan. Maka saya mengutarakan keinginan saya untuk bekerja di Pondok. Beliau pun berkata, “Ya, boleh-boleh saja. Jasa apa yang bisa kamu tawarkan?”
Waktu itu, satu-satunya keahlian saya adalah mengetik dengan mesin ketik. Maka saya berkata, “Saya cuma bisa mengetik, Pak.”
Kyai Nahar pun kemudian setuju menerima saja bekerja. Beliau menempatkan saya di Bag. Tata Usaha. Maka saya pun pulang dengan penuh syukur karena telah mendapat pekerjaan. Besoknya, saya mulai bekerja. Pekerjaan saya waktu itu adalah menjaga kantor; menerima dan melayani keperluan tamu, mengurus pendaftaran santri, juga hal-hal yang berkenaan dengan surat-menyurat dan pembayaran tagihan.
Selama bekerja pada Kyai Nahar, saya menyadari beliau sangat perhatian kepada saya. Rasa-rasanya, saya ini bagai anak beliau sendiri saja. Beliau sering bertanya, “Sudah makan belum, Le?” Beliau memanggil saya le karena saya sebaya dengan anaknya. Le atau thole adalah panggilan orang tua pada anak-anak laki di suku Jawa. Jika saya menjawab, “Belum,” Kyai Nahar akan menyuruh saya makan di warung Mas Dar, warung depan Pondok. “Sana, makan di tempat Dardi. Nanti dicatat saja. Saya yang bayar.”
Kadang kala, ketika beliau sedang senggang, kami mengobrol di kantor. Kami mengobrol tentang berbagai macam hal. Kebetulan hobi kami juga sama, yaitu bermain dan menonton sepakbola. Maka kami sering mengobrol tentang sepakbola juga. Meski umur berbeda jauh, obrolan kami bisa sangat nyambung.
Karena perhatian Kyai Nahar pada saya, saya pun menjadi sangat mencintai beliau. Salah satu hal yang membuat saya mencintai beliau adalah karena beliau begitu menghargai orang-orang yang bekerja pada beliau. Beliau meninggikan derajat saya di hadapan orang lain, padahal saya hanya seorang pegawai TU. Istilahnya cuma karyawan biasa, bukan ustadz.
Pernah suatu ketika, saya dan Kyai Nahar sedang mengobrol di kantor, lalu datanglah seorang tamu untuk suatu keperluan. Dalam keseharian, Kyai Nahar selalu memanggil saya dengan panggilan ‘le’, tetapi saat itu, ketika beliau sadar ada tamu, beliau memanggil saya dengan sebutan ‘pak’. Tentu saja saya sangat terkejut, tapi juga sangat terharu. Ya Allah … sampai segitunya. Padahal saya sama sekali tidak keberatan tetap dipanggil le atau dipanggil nama saja.
Satu cerita lagi tentang Kyai Nahar. Setiap bulan, saya ditugasi oleh beliau untuk menyiapkan amplop gaji untuk guru-guru luar. Maka menjelang pembagian, saya akan menghadap beliau untuk meminta uang. Waktu itu, beberapa kali kejadian, uang yang saya bawa ternyata tersisa.
Contohnya, gaji guru untuk bulan ini sebesar tujuh juta, misalnya. Maka saya meminta kepada beliau uang sebanyak itu. Sebelum undur diri pun, saya sudah menghitung uang itu, dan jumlahnya cocok. Tapi ketika saya mulai membagi, ternyata uang itu sisa. Ternyata ketika saya mulai memasukkan uang itu ke dalam amplop-amplop, jumlahnya lebih dari tujuh juta. Saya sampai harus menghitung berulang-ulang karena takut salah. Akhirnya uang sisa itu saya kembalikan kepada Kyai Nahar. Dan beliau pun hanya mengangguk saja seakan-akan itu adalah hal yang biasa. Tidak sekali pun bertanya, “Kok bisa sisa?” Hal seperti ini terjadi beberapa kali.
Itulah sekelumit pengalaman saya ketika bekerja pada Kyai Nahar. Saking cintanya saya pada beliau, ketika akhirnya beliau wafat, saya sampai tak bisa mengeluarkan air mata. Saya cuma bisa duduk bengong termangu dengan hati hancur. Saya merasa kehilangan seseorang yang dulu telah memberi saya pekerjaan dan memperlakukan saya bagai anak sendiri. Di mana lagi saya bisa menjumpai orang sebaik beliau? Karena itu, saya berazam, hidup mati saya adalah untuk Ta’mirul Islam, pesantren yang dirintis oleh beliau. (End)
Berdasarkan penuturan Ust. Yusuf Muslim
Diceritakan ulang dengan penambahan unsur dramatis oleh Opik Oman