Silaturahmi, Potret Tali Kasih Antar Sesama

            Menyambung tali silaturahmi penting dilakukan terlebih sesama umat islam karena manfaatnya sangat besar. Islam adalah agama yang juga mengajarkan nilai-nilai, terutama hal yang berkaitan dengan hubungan antarsesama. Islam berupaya membina sebuat umat yang berperadaban, bermoral dan saling menghormati. Salah satu perantara dalam menciptakan suasana tersebut adalah silaturahmi. Tidak hanya itu, lebih spesifik Rasulullah SAW telah menjanjikan bahwa dengan bersilaturahmi umat akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Hal ini dikuatkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:[1]

 مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi. (HR Bukhari).

            Yang dimaksud dengan menambah umur bukan tahunnya, tetapi makna dan barokahnya. Ada orang yang umurnya pendek tapi barokahnya panjang, sebaliknya ada orang yang umurnya panjang tetapi justru tak berbarokah. Yakni bertambahnya barokah dari umur yang kita miliki yang mengarah kepada taufik Allah dalam bertaat kepadaNya, memberikan kesempatan pada umur kita untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan di akhirat dan menjaganya dari hal-hal yang menjauhkannya. Atau dengan kata lain bahwa silaturahmi telah menyebabkan kepada taufik Allah dan menjaganya dari kemaksiatan yang hal ini akan selalu dikenang sepanjang masa, seakan-akan orang taat tersebut tidak mati.

            Kedua, silaturahmi bisa menambah rezeki. Rezeki dari silaturahmi bisa berupa uang, makanan, persaudaraan, pekerjaan, jodoh, pengalaman, ilmu dan sebagainya. Rezeki adalah semua hal yang berfaedah (kullu ma yustafadu). Uang yang kita terima menjadi rezeki jika ia membawa faedah. Kenaikan pangkat menjadi rezeki jika membawa faedah. Istri atau suami adalah rezeki jika membawa faedah.

            Jika semuanya itu tidak membawa faedah meski jumlahnya banyak, maka itu bukan rezeki, tetapi bencana. Betapa banyak orang ketika mempunyai penghasilan pas-pasan hidupnya justru bahagia bersama istri dan anak-anaknya, tetapi ketika naik pangkat dan penghasilannya besar justru kelakuannya menjadi berubah dan akhirnya keluarganya menjadi berantakan. Nah, naiknya pangkat dan uang banyak itu ternyata belum tentu rezeki keluarga, sebaliknya justru menjadi bencana baginya. Inilah yang terkandung dalam konsep keberkahan.

            Dalam islam, silaturahmi tidak hanya diwujudkan dalam bentuk saling mengunjungi, tetapi lebih luas, silaturahmi adalah segala bentuk aktivitas umat yang mengarah pada terciptanya persatuan. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam surat Ali Imron ayat 103: dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kmu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Jadi, pada hakikatnya, seorang umat yang selalu berpegang teguh kepada kebenaran agama akan melahirkan kesatuan umat yang menyadari akan pentingnya kesatuan umat. Seiring dengan ide Al-Qur’an tentang persatuan umat, secara khusus sabda-sabda Rasulullah SAW telah membicarakan secara terinci dengan corak dan model yang beragam.

            Pada hadits lain, Imam Bukhari dalam shahihnya, kitab al-adab, ba Rahmatu An Nas wa al bahaim, hadits nomor 5665, meriwayatkan dari sahabat al-Nu’man ibn Basyir bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,[2]

 تَرَى المُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالحُمَّى

Hadits ini merupakan model lain dari bentuk silaturahmi. Rasulullah SAW membahasakan silaturahmi dengan tiga istilah: tarahum, tawadud dan ta’athuf. Tarahum memiliki makna saling mengasihi antar umat islam yang dilandaskan pada ukhuwah islamiyah. Tawadud adalah saling menyambung tali kasih dan sayang, dalam bentuk misalnya saling mengunjungi, saling member hadiah dan lain sebagainya. Sedangkan ta’athuf lebih memiliki muatan makna saling tolong menolong dan membantu, sebagaimana benang dalam kain yang saling menguatkan antar benang yang ada.

            Maka sangat jelas bagaimana kemudian masyarakat islam akan membentuk sebuah komunitas yang saling mengasihi, menciptakan persaudaraan islam yang berdasarkan pada nilai-nilai keimanan. Kesinambungan dan keseimbangan kehidupan umat yang direalisasikan dengan saling mengunjungi, sehingga akan tahu bagaimana kondisi saudaranya tersebut, saling memberi hadiah yang merupakan gambaran tali kasih antar sesamanya.

            Kita berharap acara halal bihalal yang kerap diselenggarakan pascalebaran bukan saja menjadi agenda seremonial kegiatan yang hanya sebatas simbolis dan tidak masuk pada inti dari pesan silaturahmi, yaitu mempererat rasa persaudaraan. Kita berharap silaturahmi bisa menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan yang diganti dengan persaudaraan. Wallahu a’lam bishowab.

[1]  أحمد بن علي بن حجر العسقلاني، فتح الباري شرح صحيح البخاري، باب من بسط له في الرزق بصلة الرحم، الرقم 5639، (دارالريان للتراث، 1986)، ص. 430

 [2] نفس المرجع، فتح الباري شرح صحيح البخاري، (دارالريان للتراث، 1986)، ص. 454

 

 

Oleh : Carina Niekma Chasbana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *