Sejarah Pondok : Masjid Tegalsari sebagai Cikal Bakal Berdirinya Pondok Pesantren Ta’mirul Islam

Oleh: KH. Mohammad Adhim, M.Pd.

Pondok Pesantren Ta’mirul Islam secara de facto didirikan pada tanggal 14 Juni 1986. Tanggal tersebut merupakan tanggal dimulainya Pesantren Syawal yang pertama. Dinamakan Pesantren Syawal sebab pelaksanaan pesantren kilat tersebut kala itu dilangsungkan sepanjang bulan Syawal. (Di kemudian hari, Pesantren Syawal ini secara rutin diselenggarakan tiap tahunnya hingga berlangsung selama 12 kali.) Bersamaan dengan berakhirnya penyelenggaraan Pesantren Syawal yang pertama ini, Almarhum KH. Naharussurur kemudian dengan mantab mengumumkan bahwa Ponpes Ta’mirul Islam menerima santri permanen.
Meski secara de facto Ponpes Ta’mirul islam baru didirikan pada tahun 1986, namun sesungguhnya niatan serta usaha pendiriannya telah ada semenjak tahun 1928. Pada tanggal 28 Oktober 1928, bertepatan dengan pengikraran Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda di Jakarta, di Kampung Tegalsari pada hari itu diselenggarakan peresmian Masjid Tegalsari. Sejak saat itu pula para sesepuh kampung Tegalsari, membulatkan tekad untuk mendirikan pondok pesantren di tengah-tengah kampung Tegalsari.
Dalam kilasan sejarah, Masjid Tegalsari merupakan masjid swasta yang pertama kali didirikan di kota Solo. Pada zaman itu, terdapat dua jenis masjid berdasarkan kepemilikan dan perawatannya, yakni masjid negara/Kraton dan masjid swasta. Masjid negara adalah masjid yang pembangunannya dan perawatannya dilakukan oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Adapun masjid swasta adalah masjid yang dibangun, dirawat dan dibiayai kegiatannya sepenuhnya oleh warga masyarakat sendiri.
Ada sebuah cerita menarik yang melatarbelakangi pendirian Masjid Tegalsari. Kala itu, pelaksanaan shalat Jumat masih dipusatkan di Masjid Agung Kraton Kasunanan Surakarta. Sehingga setiap pekannya, guna melaksanakan shalat Jumat masyarakat seluruh kota Solo berbondong-bondong berjalan menuju Masjid Agung tersebut. Bagi masyarakat kampung Tegalsari secara praktis diharuskan berangkat lebih awal, karena jarak menuju masjid Agung yang cukup jauh. Suatu ketika ada salah satu warga Tegalsari yang pakaiannya terkena kotoran hewan di tengah perjalanan menuju masjid. Demi menjalankan shalat Jumat dengan sempurna, sesampainya di masjid Agung beliau lalu mencuci kembali pakaiannya guna menghilangkan najis. Alhasil, jadilah warga tersebut shalat Jumat dalam kondisi basah kuyup.
Dalam perjalanan pulang, warga tersebut menceritakan kejadian yang baru saja menimpa tersebut kepada teman-teman seperjalanannya. Pada saat itu pula beliau kemudian ber-azam (niat dan keinginan kuat) untuk mendirikan sebuah masjid yang dapat digunakan untuk shalat Jumat di kampung Tegalsari. Sebuah masjid Jami’ lengkap dengan Pondok Pesantren yang berada di komplek masjid tersebut.
Berangkat dari obrolan perjalanan tersebut, akhirnya masyarakat Tegalsari berkumpul guna memusyawarahkan hal tersebut. Hasilnya seluruh warga setuju untuk didirikan masjid di tengah kampung Tegalsari lengkap dengan lembaga pendidikannya. Harapannya, dikemudian hari masjid tersebut dalam menjadi pusat peribadahan dan pusat pendidikan agama warga kampung Tegalsari secara khusus dan warga dari daerah lain pada umumnya.
Sejak saat itu, warga kampung Tegalsari bahu membahu mempersiapkan segala macam persyaratan dan kebutuhan untuk pendirian Masjid. Diantara persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengantongi izin secara administratif dari Sinuhun Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta kala itu, yakni harus ada sekurangnya 20 ulama yang mumpuni dan diakui keilmuannya yang berada di kampung tersebut. Persyaratan ini diterapkan dengan maksud agar ulama-ulama tersebut dapat berfungsi sebagai imam yang patut menjadi panutan sehingga masjid dan jamaahnya tak terbengkalai. Guna memenuhi persyaratan tersebut kemudian diadakan pendataan ulama kampung Tegalsari, sehingga terkumpullah lebih dari 50 ulama kampung Tegalsari yang patut diajukan ke pihak Kraton.
Selanjutnya guna menyampaikan hajat warga untuk mendirikan masjid, kemudian dipilihkan almarhum Prof. DR. KH. Raden Muhammad Adnan, salah satu ulama kampung Tegalsari, yang juga merupakan putra dari Penghulu Kraton (Menteri Agama Kasunanan Surakarta) ketika itu, untuk menghadap Sang Raja. Di Kraton, setelah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan Raden Adnan kala itu, Sang Sinuhun kemudian langsung menanyakan 2 hal yang menjadi syarat utama pendirian masjid; Pertama, sudah adakah 20 ulama yang sanggup menjadi Imam dan Khotib di masjid yang akan dibangun?; Kedua, sudah adakah dana dan lokasi yang akan digunakan untuk membangun masjid?. Pertanyaan pertama, Raden Adnan jawab dengan percaya diri karena telah mengantongi lebih dari 50 nama ulama kampung Tegalsari yang cukup mumpuni secara keilmuan. Adapun pertanyaan kedua, dijawab dengan lebih mudah karena selain telah disiapkan satu bidang tanah yang akan digunakan untuk pendirian masjid, warga kampung Tegalsari yang kala itu banyak didominasi oleh pengusaha batik juga telah mengumpulkan dana yang cukup banyak guna pendirian masjid.
Akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk satunya dengan mengetahui para penyandang dana pembangunan dan lokasi yang akan digunakan untuk pendirian masjid, Sang Sinuhun memutuskan untuk memberikan izin kepada warga kampung Tegalsari untuk membangun Masjid. Selain itu masjid tersebut juga diizinkan untuk menyelenggarakan sholat Jumat setelah berdiri nanti. Pembangunan masjid tegalsari kemudian memakan waktu kurang lebih 1 tahun. Dalam proses pembangunannya yang diketuai langsung oleh Raden Adnan, sesepuh kampung Tegalsari telah teramat memperhatikan kesucian masjid bahkan sejak pertama kali dibangun. Salah satunya yakni dengan pembuatan padasan (kolam tempat cuci kaki) di sekeliling masjid.
Dilatarbelakangani oleh kebanggaan dan kesyukuran atas masjid yang telah berdiri tersebut, maka selain memondokkan putra-putrinya, masyarakat kampung Tegalsari kemudian juga memiliki tradisi baru, yakni mengambil anak menantu dari kaum santri. Hal ini dimaksudkan agar masjid yang telah dibangun dapat dijaga, dilestarikan dan dikembangkan bahkan hingga terwujudnya pesantren di kemudian hari. Sejak saat itu muncullah istilah/nasehat yang masyhur di kampung ini; YEN GOLEK MANTU SING ISOH NGAJI (Carilah menanti yang bisa ngaji). bersambung….
[Akrab Edisi 5 | Agustus 2017]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *