Sastra : Parmin

“Kepada masyarakat Desa Wonokarto, yang hendak mengikuti sholat Idul Fitri, harap segera datang ke masjid. Karena sholat akan segera dilaksanakan lima menit lagi.”

Pengumuman yang bersumber dari mulut pengurus masjid, yang diucapkan di depan microphone, lalu dibesarkan volume-nya dengan speaker TOA yang di pasang di atas kubah, akhirnya sampai ke telinga Parmin yang berjarak kurang dari sekilometer jauhnya.

Di fajar yang dingin dan sepi itu, suara pengumuman dari masjid didengar jelas oleh Parmin yang  sedang berdiri di depan rumah. Dia pun mengumpat pelan dan kembali masuk rumah. Menemui keluarganya yang tak selesai juga mematutkan diri, padahal sudah sejak satu jam tadi mereka bangun. Sedangkan Parmin telah siap dengan baju koko, sarung dan songkok baru sejak setengah jam lalu.

“Lama sekali. Belum siap juga. Masih kurang apa lagi?” tanya Parmin pada istrinya yang entah sedang melakukan apa.

“Nyari kuncir …” jawab istrinya sekilas saja. Tidak melihat Parmin. Tidak berhenti bergerak. Wara-wiri ke sana ke mari, membongkar kotak-kotak dan memeriksa rak-rak. Sementara itu, dua anak perempuan mereka sedang duduk di depan televisi menonton film kartun. Sudah memakai kostum yang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Memeluk tas mungil berisi mukena baru. Salah satu dari keduanya memakai terkuncir rambutnya, lainnya belum. Sedangkan ibunya yang sudah renta tidak terlihat di ruang tengah. Namun itu tidak masalah, karena ibunya memang tidak hendak ikut.

“Waduh, kuncir saja baru nyari sekarang. Kenapa tidak sejak semalem dipersiapkan.” Parmin mengungkapkan kejengkelannya. “Ini tinggal lima menit lagi. Bisa terlambat kita. Apa yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, gagal total hanya gara-gara kuncir. Ayo berangkat! Tak usah pakai kuncir.”

“Nggak mau! Aku gerah kalau nggak pakai kuncir,” kata Maya, putri sulung Parmin. Wajahnya langsung cemberut. Meski pandangannya tidak lepas dari layar kaca.

“Kalau mau pakai, sana dicari! Jangan malah nonton tivi,” sentak Parmin marah. Dia merasa hanya dia yang peduli dengan sholat Idul Fitri pagi ini.

Maya pun mulai beranjak. Namun lagi-lagi, pandangannya masih terpaku melihat aksi tokoh-tokoh kartun. Parmin jadi gemes.

“Nih, sudah ketemu,” celetuk istri Parmin tiba-tiba.

Tensi ketegangan pun menurun seketika. Maya dikuncir dalam sekejap. Parmin langsung lega. Dia segera keluar rumah sambil memberi komando keluarganya untuk mengikuti. Dia kemudian menaiki sepeda motor dan menyalakannya. Suara mesin terdengar lebih keras karena suasana yang sepi. Di jalan depan rumah, terlihat seseorang berkostum sholat sedang berlari  ke arah masjid.

“Woi, nggak naik motor? Tinggal tiga menitan lho,” tanya Parmin.

“Ban bocor!” teriak orang itu sekenanya. Tidak memperlambat langkah apalagi berhenti. Sarungnya terlihat terkibar dan tersentak-sentak oleh gerak kakinya.

Parmin tersenyum melihat nasib tetangganya itu. Meski dengan berlari, sepertinya dia akan tetap terlambat. Parmin senang motornya sehat-sehat saja dan bisa digunakan. Jarak ratusan meter bisa ditempuh dalam semenit.

Tiba-tiba Parmin sadar keluarganya tidak mengikuti keluar rumah. Istrinya tidak terlihat, begitu juga anak-anaknya. Dia sendirian, hanya ditemani suara motornya yang kini seakan mengejek dan suara lantunan takbir dari masjid yang memang tak berhenti sejak malam tadi. Senyum Parmin seketika menghilang, digantikan kejengkelan level dua. Lebih jengkel daripada beberapa saat tadi. Dia diliputi dilema. Di satu sisi dia malas untuk masuk rumah lagi, di sisi lain, dia bisa benar-benar terlambat kalau ke-bertele-tele-an ini tidak segera diatasi.

Akhirnya dia turun dari motor dan bergerak masuk rumah. Kemarahannya yang mulai mendidih membuat langkahnya terhentak, lubang hidung mengembang, jidat berkerut, jari terkepal dan gigi tergeretak. Begitu dia sampai di ruang tengah, dia lihat anak-anaknya kembali khusyuk memandang layak televisi. Duduk bersimpuh seakan santri yang sedang mendengar petuah luhur kyai. Tak ayal gelegak lahar kemarahan keluar dari kerongkongannya.

“Woi! Ngapain kalian! Cepat keluar! Sudah ditunggu dari tadi, kok.” Semburan dan letupan emosi  membuat mata Parmin melotot dan suaranya meninggi dan menggeram.

Kedua anaknya kaget. Mereka berdua lalu terbirit-birit keluar rumah tanpa disuruh lagi. Hanya saja, mereka meninggalkan televisi masih dalam keadaan menyala. Maka Parmin pun emosi lagi.

“Woi, matikan dulu televisinya! Jangan ditinggal dibiarkan menyala!” kata Parmin penuh kejengkelan.

Kedua anaknya saling tunjuk. Saling berkata ‘kamu saja’. Akhirnya si Sulung mengalah. Kembali untuk mematikan televisi, lalu keluar rumah. Di sana mereka menunggu di sekitar motor.

Setelah selesai mengurusi  kedua anaknya, Parmin celingukan mencari istrinya yang tak terlihat, baik itu batang hidungnya maupun daun telinganya, apalagi gusinya. Parmin memanggil-manggil istrinya dengan suara guntur yang menggelegar saat tak ada hujan. Pasti membuat kaget siapa pun yang berani mendekatkan telinga ke bibir Parmin.

Dia melongok kamarnya, tidak ada orang di sana. Dia berpindah ke kamar anak-anak, sepi tak ada manusia. Maka dia pergi ke kamar ibunya dengan kesabaran yang hampir habis. Dalam perhitungannya, waktu yang tersisa tinggal satu menit. Hampir tak ada waktu lagi. Dia berharap pengurus masjid menunda sholat beberapa saat lagi.

Pintu kamar ibunya terbuka. Sosok renta itu berada di ambangnya. Mengenakan mukena yang sudah kusam oleh waktu. Berjalan agak tertatih, dipapah oleh menantunya. Wajah perempuan sepuh itu terlihat semringah. Seperti anak-anak yang baru saja dibelikan mainan baru.

Belum sempat, Parmin mengatakan apa-apa, ibunya berkata, “Aku ikut sholat Idul Fitri ya, Min.”

Parmin kaget tak terkira. Rasa marah yang sudah membuncah sejak tadi meledaklah sudah.

“Ibu ini apa-apaan? Kenapa baru sekarang bilang mau ikut? Kemarin-kemarin ngapain?” Parmin bertanya dengan nada penuh emosi.

Mendengar kata-kata Parmin, tubuh ibunya tersentak. Wajahnya yang tadi ceria tiba-tiba dikuasai mendung hitam. Matanya mengembun dengan cepat. Tangannya bergetar hebat karena kaget dengan kerasnya suara anaknya yang terasa dipenuhi kebencian.

Namun Parmin tak sadar dengan luka yang baru saja ia torehkan di hati ibunya. Sebab pikirannya sedang tertutup kabut hitam pekat, tak mampu bersimpati apalagi berempati dengan keadaan sekitar. Yang dia perhatikan hanyalah nafsunya sendiri.

Istri Parmin yang terkejut dengan reaksi suaminya yang membentak mertuanya, segera hendak mengucapkan peringatan. Namun ternyata Parmin lebih cepat.

“Kamu juga!” bentak Parmin pada istrinya, “Kenapa nggak juga keluar? Sudah kutunggu sejak tadi. Ayo sana! Keluar!”

Istri Parmin hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi Parmin membentaknya. Maka karena takut dan jeri, dia dengan berat hati mematuhi perintah suaminya. Selama sedetik menantu dan mertua itu saling berpandangan. Mereka berdua melihat luka di masing-masing mata.

Begitu istrinya melangkah pergi, tinggalah Parmin dengan ibunya yang kini bersandar di mulut pintu kamar. Bukannya mengatakan permintaan maaf, Parmin hanya berbalik sambil berkata cepat, “Ibu di rumah saja!”

Ibu Parmin melihat punggung anaknya menjauh, lalu hilang ke balik pintu. Mata rabunnya memerah, lalu air luka mulai mengalir di pipinya. Tanda bendungan hati telah retak atau bahkan hancur. Tubuh lemah itu bersandar semakin berat ke pintu, kemudian jatuh terduduk dalam gugu. Punggungnya melengkung hampir sujud. Bahunya tersentak-sentak, mencoba meredam ledak-ledak yang berturutan di dalam dadanya.

Bagi pikiran tuanya yang tak lagi secermelang dulu, bagi jiwa tuanya yang tak lagi sebijaksana dulu, apa yang dilakukan sang Putra semata wayang memang menyakiti hatinya. Namun bukannya marah terhadap ulah durhaka Parmin, dia hanya sedih saja. Meski kesedihannya itu bisa saja mengoyak pintu langit dan memicu murka Tuhan.

Pikiran dan jiwanya sekarang tak lebih daripada anak berumur lima tahun. Yang takut dimarahi oleh anaknya sendiri. Yang diasuh oleh anaknya sendiri. Yang menjadi terpinggirkan dalam keluarga kecil anaknya. Yang melewati hari-hari penuh dengan kecemasan, takut bila Parmin marah padanya.

Tadi, sewaktu menantunya pamit hendak sholat Idul Fitri, tiba-tiba dia mengingat kenangan bersama almarhum suaminya dulu di hari seperti ini. Lalu entah kenapa, dia bertekad untuk ikut sholat. Betapa gembira hatinya ketika sang Menantu menyetujui. Betapa remuk hatinya ketika sang Anak memarahi.

Namun hidup akan terus berlanjut. Hari demi hari. Kesedihan seperti ini sudah biasa bagi hati rentanya. Satu yang dia harap pagi itu—meski tak pernah terpikirkan di otaknya untuk bunuh diri—semoga Allah berkenan mencabut nyawanya segera, dan mempertemukannya dengan suami tercinta.

***

Parmin tidak ketinggalan Sholat Idul Fitri. Pengurus masjid memperpanjang waktunya lima menit lagi. Dia berpisah dengan anak istrinya. Bergabung di barisan jamaah pria. Dia lega sholat tahun ini bisa dia lewati dengan sukses, meski sempat terkendala beberapa.

Dari wajahnya yang tampak tenang ketika mendengarkan khutbah, tak ada tanda-tanda penyesalan atau perasaan bersalah atas perlakuannya pada sang Ibu beberapa menit sebelumnya. Hingga sang Khotib bercerita, tentang seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Siapa yang paling berhak mendapat baktiku?”

Sebuah sudut di wajah Parmin pun bergetar. (Opik Oman)

[Akrab Edisi 5 | Agustus 2017]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *