Sastra : Istikharah Abah

Tidak semua santri pasti dijodohkan Kiai. Ada banyak santri yang mencari istri sendiri. Walaupun pada akhirnya minta restu atau sekadar pertimbangan dari Kiai. Tak ada aturan yang menuliskan, namun sebagian besar santri mematuhi. Apalagi bagi anak seorang Kiai. Aturan itu lebih ketat lagi. Kiai menjadi penentu dengan siapanya anaknya kelak menikah dan anak tak bisa bilang tidak.

 Istikharah Kiai masih menjadi andalan. Dengan ikhtiar yang dilakukan Kiai, santri tak perlu repot menentukan pilihan. Baik buruk bisa diterawang. Santri yang baik adalah yang pasrah pada yang sudah dipilihkan. Jika, tidak santri itu akan dibilang kurang nriman.

Kisah ini tentang Gus Faisal, putra Kiai Junaidi yang memiliki pesantren di perbatasan Ponorogo-Pacitan. Usia Faisal sudah lebih dari dua puluh lima tahun. Saat ini dia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di kampus negeri di luar kota. Di usia itu, sebenarnya dia ingin segera menikah. Sudah banyak gadis yang akan dilamarnya namun tak ada satupun yang akhirnya berhasil dinikahinya. Ada banyak kendala yang dialami. Semuanya karena ketidaksesuaian hati antara dirinya atau dari orang tuanya.

Sudah lebih dari lima gadis yang dia dekati. Seluruhnya gagal ketika disodorkan kepada abahnya. Alasannya karena hasil istikharah tidak menunjukkan kebaikan. Abah Junaidi tak ingin anaknya kelak mendapat pasangan yang tidak memiliki visi yang sama dengan keluarganya. Bagi abah, keberlangsungan pesantren adalah yang terpenting. Sebisa mungkin Faisal harus mendapatkan istri yang kelak mau berjuang bersamanya. Yang saling mengisi kekurangan. Yang tenaga dan pikirannya bisa untuk memajukan lembaga yang sedang dirintis keluarga.

Abah sendiri selalu memilihkan Faisal melalui istikharah. Mulai dari nama, sekolah, nyantri dan kampus. Dan semua pilihannya biasanya selalu cocok dengan isi hati Faisal. Begitulah Abah. Tak hanya Faisal yang begitu. Adik-adiknya pun demikian. Terakhir adalah adik perempuannya yang menikah sebulan lalu. Sejak dua tahun lalu, Abah sering pula dimintai pertolongan orang untuk istikharah atas pilihan yang harus ditempuh. Hampir tiap hari ada yang sowan ke Abah. Bermacam-macam orang mendatangi. Ada yang bertanya kapan harus mulai bercocok tanam, hari baik untuk berdagang dan bermacam lainnya. Dan yang paling banyak adalah masalah perjodohan.

Kali ini, Faisal dekat dengan salah seorang santriwati. Mereka belum pernah bertemu. Hanya saling tahu poto dan karakter melalui komunikasi jarak jauh. Namanya Hanifah. Gadis asal Lamongan yang nyantri di Tuban.

“Bah. Besok kulo mau ke Lamongan.”

“Ke rumah santri yang jadi khodam Kiai Mujahid itu?”

“Nggeh, Bah. Pripun?”

“Abah belum istikharah. Nanti malam mungkin baru bisa istikharah. Ke Lamongan, menunggu abah dapat istikharah dulu.”

“Tapi, Bah. Besok anaknya liburan terakhir. Lusa dia sudah balik ke pondok. Tak ada waktu lagi untuk bisa menemuinya. Kalau sudah balik pondok, jelas tak mungkin.”

Abah diam.

“Abah ‘kan sudah tahu orangnya. Umi juga sudah pernah berkenalan walau lewat telpon. Sepertinya Umi juga sudah akrab dengannya.”

“Baiklah. Tapi abah tetap berkeyakinan. Kalau jawaban istikharah adalah yang menentukan. Kalau istikharah berarti Allah yang memberi petunjuk.”

Tak bisa dipungkiri, dari poto yang dilihat Faisal, Hanifah memang cantik rupawan, berpawakan tinggi dan berkulit putih. Santri putri lain yang bersepakat, dialah yang tercantik di pesantren yang jumlah santrinya ribuan. Apalagi dari kisah adik kelasnya sewaktu di Aliyah yang kini sepondok dengan Hanifah, tentang ketekunannya, tentang prestasinya dan kealimannya.

Faisal langsung bisa mengatakan, pilihannya tak salah lagi. Dialah yang dicari. Nampaknya, Hanifah juga tertarik pada Faisal. Putra seorang Kiai yang berprestasi. Faisal adalah sarjana terbaik dan di usianya yang masih belia sudah memiliki karya buku. Sebagai santriwati yang hanya jadi khodam di pondoknya, sosok Faisal adalah dambaan santriwati.

***

Faisal berangkat dari Ponorogo sendiri. Dari Ponorogo, ia ke Ngawi. Dari Ngawi Naik bus mini yang tak layak jalan dengan lintasan yang rusak sehingga lebih tepat untuk lintasan kuda. Tak ada pilihan lain karena bus itulah satu-satunya kendaraan umum yang beroperasi dengan trayek Ngawi-Bojonegoro. Ngawi ke Bojonegoro sekitar dua jam. Perjalanan jauh tak jadi masalah karena optimisme yang memberi kekuatannya untuk mengarungi apapun yang menghalanginya. Tak lupa, ia juga selalu merapalkan doa.

“Ya Allah, menikah adalah sunnah nabi-Mu. Permudahkanlah aku untuk mengikuti ajaran rasul-Mu.”

Di Bojonegoro, ia singgah dulu di rumah temannya sewaktu nyantri di Kediri. Nama temannya Salam. Dia sudah punya anak berumur dua tahun. Padahal usianya lebih mudah dari Faisal.

“Kita berangkat sekarang, Gus?” tanya Salam.

“Iya. Aku sudah penasaran dengan anak ini.”

“Nanti kamu mau melamarnya langsung?”

“Insya Allah,”

“Lebih afdhal begitu, Gus. Aku setuju. Tapi ngomong-ngomong, sepertinya njenengan sudah mantap sekali. Biasanya ndak begini.”

“Mungkin ini yang namanya jodoh. Heuheuheu. Aku sendiri ndak pernah merasakan hal yang seperti ini.”

“Bismillah, Gus. Ayo berangkat.”

Sesampai di Babat, hujan turun lebat. Faisal dan temannya berteduh sebentar di sebuah warung kopi di tepi jalan desa Kebalandono Timur. Sekalian dia melaksanakan sholat duhur di musholla dekat warung. Perjalanan masih kurang satu jam lagi. Rumah Hanifah ada di kecamatan Turi, salah satu daerah Lamongan penghasil ikan tawar.

Rencananya Faisal mau mampir ke rumah salah satu temannya yang tak jauh dari warung kopi itu. Namun karena hujan, ia urungkan niatnya. Dia melanjutkan perjalanan setelah hujan masih gerimis. 

Sampai di kecamatan Turi, ternyata jalan yang dilalui tidak seperti yang dibayangkan selama ini. Sebab yang Faisal tahu, Lamongan adalah kota wisata. Bagaimanapun kota wisata harus memiliki infrastruktur.

“Ternyata Lamongan ini tak seperti yang kubayangkan. Jalannya masih banyak yang rusak. Berarti selama ini hanya pencitraannya yang bagus,” ucap Faisal kepada temannya.

“Ya. Begitulah, Gus. Dimana-mana juga begitu. Uang negara dibuat untuk membuat taman dan tempat wisata, sementara masih banyak yang tempat tinggalnya belum layak.”

Lima kali lebih Faisal bertanya desa dimana Hanifah berada. Adzan Ashar berkumandang dari kejauhan saat dia memasuki gerbang desa Kemlagi. Faisal turun dari motor untuk bertanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Hanifah menelpon.

“Assalamualaikum, Gus.”

“Waalaikumsalam. Pripun? Aku sudah masuk gerbang desamu.”

“Afwan, Gus. Tadi baru saja Ibu njenengan telpon. Beliau memberitahu hasil istikharah abah.”

“Iya. Nanti kita bicarakan di rumahmu saja.”

“Tapi, Gus.”

“Ndak apa.”

Telpon ditutup setelah salam. Ternyata rumah Hanifah tak jauh dari gerbang masuk desa.

Mereka bertemu. Faisal sudah menduga bahwa perempuan yang selama ini ia gandrungi walau belum pernah ditemui adalah jelmaan dari khayalannya tentang perempuan yang kelak jadi istri dan ibu dari anak-anaknya. Betapa Faisal saat itu juga merasa sangat bahagia. Apalagi Hanifah baru saja berwudhu dan bermukena putih. Nampaknya dia akan melaksanakan sholat Ashar.

Setelah berbasa-basi dengan ayah dan ibunya. Orang tuanya sudah masuk membiarkan Faisal, teman dan hanifah di ruang tamu. Hanifah menyampaikan kalimat panjang yang disertai cairan bening yang membuat matanya berkaca-kaca. Wajahnya nampak tersenyum walaupun bibirnya tidak melengkung.

“Tadi ibu menelpon. Beliau Menyampaikan hasil istikharah Abah,” tutur Hanifah.

Faisal diam mendengar. Ia masih terpesona oleh keayuan Hanifah. Hatinya tetap optimis pasti yang disampaikan Hanifah adalah pertanda baik dari Abah.

“Aku lebih baik menyampaikan apa adanya. Walaupun sebenarnya tadi ibu tak menghendaki demikian. Beliau ingin aku tak bicara. Tapi buat apa menyembunyikan hal yang tak diinginkan. Tak ada yang lebih sakit dari menyembunyikan kesakitan itu sendiri bukan?” lanjutnya.

“Iya. Sampaikan saja.” Faisal mulai gelisah.

“Intinya abah memberi lampu merah.” kata Hanifah.

Sebenarnya Faisal merasa terpukul. Ia hanya mencoba tegar mendengar hal yang tak pernah ia bayangkan.

“Tak perlu dilanjutkan. Aku sudah paham abah bagaimana.”

Mereka pun saling diam hingga orang tua Hanifah datang membawa makanan dan minuman. Faisal tak menikmati hidangan kecuali hanya sedikit karena hatinya dirundung mendung seperti langit sore itu. Tak ingin ia berlama-lama di sana. Ia berpamitan sambil mencoba terus menerus berusaha menyembunyikan kekecewaannya atas hasil istikharah Abah. Teman Faisal hanya bisa menenangkan dan menepuk punggung sahabatnya sambil mengucapkan kata sabar berkali-kali. Kata yang tak ada maknanya bagi orang yang sedang patah hati.

Faisal pulang membawa kecewa dan hati yang berduka. Beberapa minggu kemudian. Ia mendapat kabar bahwa Hanifah dijodohkan oleh Kiainya. Dan tak ada kebijaksanaan yang bisa dilakukan oleh orang yang patah hati karena ditinggal kekasih melainkan satu hal. Bahwa dia harus rela.

Suci, 16 November 2015

Rizal Mubit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *