Profil Ust. Amin Zainuddin: Menangis untuk Santri

Nama saya Amin Zainuddin. Seorang tenaga pengajar di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Saya lahir pada tanggal 16 Mei 1983 di sebuah dusun bernama Dang Rejo, kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Sebuah desa yang sampai sekarang baru sedikit bercengkerama dengan kemajuan zaman. Jika Anda ke sana, suasana pedesaan yang asri masih akan terasa kuat. Ini menandakan betapa pelosoknya kampung halaman saya. Namun saya mencintainya.
Saya lahir dari seorang ibu rumah tangga bernama Siti Fatimah. Ayah saya, almarhum Bpk. Sukamto, adalah seorang pekerja keras. Semasa hidupnya, beliau berwira usaha untuk menghidupi keluarga. Beliau memproduksi dan mendistribusikan roti tarcis. Meski bukan usaha besar, namun, alhamdulillah, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berkat orang tualah saya bisa menjadi seperti saat ini. Sekarang, giliran saya yang membina keluarga dengan seorang perempuan bernama Eka Murniati. Dia juga seorang alumni Ponpes Ta’mirul Islam seperti saya. Dari pernikahan ini, saya sudah diberi dua momongan. Semuanya laki-laki. Berumur delapan dan tujuh tahun.
Hidup saya saat ini saya abdikan untuk Ponpes Ta’mirul Islam. Dan itu dimulai belasan tahun lalu. Tepatnya pada tahun 2003. Setelah kelulusan, saya dan salah satu teman saya, bernama Wawan, dipanggil ke kantor madrasah. Di sana ada pimpinan pondok, KYai Nahar, kepala madrasah, Ust. Samadi, dan beberapa ustadz lain yang sudah tak saya ingat lagi.
Waktu itu saya ditanya oleh Kyai Nahar. Beliau menanyakan rencana saya setelah lulus. Jujur, saya menjawab bahwa saya belum mempunyai rencana yang jelas. Wawan juga mendapat pertanyaan yang sama. Setelah jelas kami belum kepikiran tentang program setelah lulus, maka kemudian Kyai Nahar dengan kerendahan hati beliau, meminta kami untuk menjadi staff pengajar di Ponpes Ta’mirul Islam.
Awalnya saya bingung. Mengapa saya yang diminta? Saya merasa tidak mempunyai keunggulan apapun dibanding teman-teman seangkatan. Dari sisi akhlak maupun nilai akademik, saya bukanlah yang terbaik. Namun siapa yang bisa menolak permintaan Kyai Nahar? Tentu saja saya menerima dengan senang hati, meski merasa tidak terlalu pantas.
Alasan mengapa saya yang dipilih sempat menghantui saya selama beberapa waktu. Bahkan saya pernah menanyakan hal tersebut kepada Ust. Suwardi. Apa pertimbangan dewan asatidz sehingga meminta saja mengabdi? Mendengar pertanyaan saya, Ust. Suwardi cuma tersenyum dan menyuruh saya memikirkan sendiri jawabannya. Jadi, bagi saya, hal itu masih menjadi rahasia yang membuat saya penasaran sampai sekarang.
Keadaan Pondok saat saya pertama kali mengabdi tentu jauh berbeda dengan sekarang. Masih terasa sentuhan alami di mana-mana. Halaman depan masih berupa tanah, belum dipaving. Begitu juga lapangan Waro’a yang masih berupa tanah. Becek ketika musim hujan, berdebu saat musim kemarau. Meski hal itu sama sekali tak menyurutkan niat kami untuk bermain bola setiap hari.
Makan para ustadz pun masih ikut dapur santri. Jadi kami memakan nasi dan lauk yang sama. Apapun menu santri hari itu, menu itu juga yang dihidangkan pada para ustadz. Meski kesejahteraan para ustadz belum sebaik sekarang, tapi hal itu tidak menipiskan keikhlasan kami untuk berjuang bersama Kyai Nahar membangun dan membesarkan Pondok.
Saat awal-awal menjadi ustadz, ada beberapa kendala yang saya hadapi. Salah satunya adalah sifat saya yang cenderung gampang emosi. Karakter ini sudah jadi sifat bawaan saya sejak kecil. Meskipun sekarang karakter itu sudah jauh berkurang, tetapi saat menjadi ustadz muda dulu, saya agak kesulitan untuk tidak langsung marah ketika melihat santri yang melanggar disiplin.
Kendala lainnya adalah rasa canggung ketika harus menghadapi adik-adik kelas saya. Mereka yang biasanya bercanda dan bermain bersama saya, tiba-tiba harus menerima hukuman dari saya ketika melanggar disiplin. Dua adik kelas yang kini menjadi ustadz adalah Ust. Prihanto dan Ust. Ya’qub Al-Katiri.
Di awal pengabdian saya di Pondok, saya diberi amanah untuk menjadi pengurus Pengasuhan. Saya termasuk ustadz yang sangat lama berada di Pengasuhan, sementara pengurus-pengurus lain muncul silih berganti. Beberapa ustadz yang sempat bersama saya di pengasuhan adalah Ust. Chakim, Ust. Prihanto, Ust. Umar, Ust, dan Tri Agus.
Pada 2008, saya dipindah ke KMI. Di sana saya bekerja sama dengan Ust. Anis, Ust. Taufiq Saleh, dan Ust. Samadi. Baru sebentar di sana, saya kembali ke Pengasuhan. Hingga akhirnya di tahun 2017, saya diamanahi oleh dewan masyayikh untuk menjadi wakil mereka di Kampus Masaran, Sragen.
Saya menjadi ustadz tertua di Kampus Masaran. Saya bertanggung jawab atas berjalannya seluruh program-program Pondok di sana. Bisa dikatakan saya merupakan pimpinan Kampus Masaran. Meskipun hanya di taraf kebijakan-kebijakan teknis. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang lebih besar, saya tunduk dan patuh pada keputusan dewan masyayikh dan pimpinan pondok.
Dari semua jabatan yang pernah saya emban, yang paling berkesan adalah saat menjadi Pengasuhan. Karena Pengasuhan pasti selalu bersinggungan dengan santri. Terutama santri yang melanggar disiplin. Selalu ada rasa tidak enak ketika harus menghukum santri indisipliner dengan hukuman berat.
Saya lebih suka menghukum mereka dengan hukuman fisik lalu selesai perkara. Daripada harus memberi hukuman berat semacam skorsing atau pun pengusiran, yang itu berimbas pada masa depan mereka. Namun, pada beberapa kesempatan langka, skorsing dan pengusiran itu terpaksa pernah saya lakukan pada beberapa santri. Tentu saja setelah berkonsultasi dengan dewan masyayikh.
Ada saat ketika saya betul-betul merasakan berat hati. Berat hati yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Yaitu ketika yang harus saya usir adalah santri-santri yang saya menjadi wali kelas mereka. Di satu sisi, saya adalah Pengasuhan yang harus menegakkan disiplin, di sisi lain saya adalah wali kelas yang harus bisa menjadi pengganti orangtua bagi mereka. Pada waktu itu, saya sampai menangis saking tidak kuat menahan perasaan. Bahkan kemudian saya menggunduli rambut saya.
Itu adalah harga yang harus dibayar demi pendidikan. Namun sekarang, ketika melihat santri-santri yang pernah saya ajar, atau saya hukum, baik hukuman ringan maupun berat, sukses setelah keluar atau lulus dari Pondok, saya merasakan kebahagiaan. Saya ikut senang atas keberhasilan mereka. Dan alhamdulillah, mereka juga tidak menyimpan dendam pada saya. Malahan, segala kenangan itu sekarang menjadi cerita-cerita yang layak untuk diungkap kembali setiap kami bertemu.
Demikianlah sekelumit kisah saya selama mengabdi di Ponpes Ta’mirul Islam. Lalu kapan cerita saya di sini berakhir? Selama Pondok masih membutuhkan tenaga saya, insyaallah, selama itu pula saya akan membaktikan diri saya untung berjuang di keluarga besar tercinta ini.
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Ust. Amin Zainuddin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *