Profil Ihya Ulumiddin: Tiga Kali Hampir Putus Pesantren

Perkenalkan, aku Muhammad Ihya’ Ulumiddin Al-bantani. Santri yang mendapat kehormatan menjalani ujian amaliah tadris perdana putra. Disaksikan oleh seluruh ustadz dan teman-teman seangkatan. Sungguh pengalaman yang tiada duanya.
Aku lahir di Tangerang,12 Mei 2001. Ayahku bernama Ahmad Mudzakir. Aku masuk Ponpes Ta’mirul Islam pada tahun 2013 setelah lulus SD.
Mengapa aku bisa masuk pondok ini? Wah, tidak semudah itu menceritakannya. Cukup rumit. Apalagi sekarang aku sudah duduk di kelas 6 KMI. Masa-Masa anak baru sudah lama berlalu.
Namun yang jelas, aku masuk pondok karena ingin mengamalkan arti nama panjangku saja. Simple ‘kan? Tapi berat juga mengembannya. Apalagi itu harapan orangtua. Yah, semoga suatu saat nanti aku bisa benar-benar mewujudkannya.
Saat masih anak baru dulu, aku terbilang anak mami. Aku berkata seperti ini karena aku sendiri merasa, hampir tiap malam, gulingku basah oleh air mata. Hehe. Tahu sendiri kan karena apa? Kangen orangtua.
Jadi anak baru di Pondok sebenarnya tidak terlalu sulit. Namun jika ada yang bisa kusebut sebagai masalah paling berat saat jadi santri baru adalah ketika harus mencuci pakaian. Aku tidak bisa mencuci baju karena tidak tahu caranya. Tidak ada yang memberi tahu. Akhirnya, pada suatu hari, ada kakak kelas yang mengajariku. Kakak kelas itu sekarang jadi orang sukses, karena beliau sangat berbakti pada orangtuanya. Kalau tidak salah nama lengkapnya Ridwan Yakub Arifin.
Jika ditanya mengapa aku bisa bertahan menempuh pendidikan di pondok hingga sekarang, aku tak tahu jawabannya. Aku sendiri juga bingung. Padahal saat kelas 1 KMI aku pernah berpikir, “Aduh! Tega sekali, ayah ibuku menitipkanku jauh di sini. Apalagi teman-teman banyak yang menyebalkan.”
Saat kelas 1 KMI, aku bahkan sudah hendak keluar, tetapi disuruh memikirkan ulang oleh orangtua. Takdir Allah, setelah ujian, aku malah menjadi betah. Akhirnya aku tidak jadi keluar. Kemudian saat kelas 3 KMI juga sempat ingin keluar karena terpengaruh beberapa teman yang sudah memutuskan keluar. Namun wali kelas menyuruhku berpikir ulang. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba meneruskan, alhamdulillah, aku betah. Bahkan aku bertekad untuk terus di pondok hingga lulus.
Lalu saat kelas 5 KMI, aku merasa sangat tidak betah dan ingin keluar. Kali ini yang berusaha mencegah niatku itu banyak sekali. Banyak temanku yang tidak rela aku keluar. Karena perjuangan tinggal setahun lagi. Waktu itu aku sudah sempat minta surat pindah, bahkan surat itu sudah ditandatangani. Namun surat itu tiba-tiba hilang dan ditemukan sudah dalam keadaan sobek-sobek.
Saat pamit pada direktur KMI, beliau berkata, “Ya sudah, kalau memang pada akhirnya pondok ini tak bisa menuntaskan pendidikannya untuk masa depanmu, tapi jangan pernah lupa jika dulu kamu di sini pernah buat cerita.”
Karena kata-kata beliau itu, akhirnya aku berpikir ulang. Aku pun memutuskan untuk bertahan sebentar lagi. Aku bertekad menuntaskan hingga, paling tidak, akhir kelas 5 KMI. Takdir Allah, pimpinan pondok malah memberiku amanat sebagai Bagian Ta’mir Masjid di OSTI. Karena itu, aku jadi sungkan untuk keluar. Maka waktu terus berjalan hingga pada akhirnya aku dipilih untuk mewakili teman-teman menjalani amaliah tadris perdana.
Saat tahu akulah yang akan menjalani amaliah tadris perdana, aku tak bisa tidur. Aku masih membuka mata hingga jam setengah tiga malam. Terasa ada beban berat di pundak. Bahwa aku sedang membawa nama naik semua teman seangkatanku dan juga pondok. Jika aku gagal atau tidak lulus, maka akan memalukan bagi teman-teman dan seluruh keluarga besar pondok. Aku tertekan untuk menampilkan yang terbaik, atau paling tidak, tidak memalukan.
Waktu itu, ada enam kandidat yang kemungkinan akan menjalani amaliah tadris perdana. Selain aku, ada Nurrochman, Almasfata, Rahmawan, F. Adhim, dan N. Shidiqi. Kami berenam diperintah untuk maju ke depan oleh ustadz. Sementara teman-teman kami yang lain memperhatikan.
Aku tidak deg-degan, karena menurutku, aku yang paling tidak memenuhi syarat di antara para kandidat lain. Dua orang kemudian diminta mundur. Tinggal kami berempat. Aku mulai agak sesak dada.
Lalu aku dan Nurrochman disuruh mundur. Tinggal dua orang yang di depan. Aku lega sekali. Namun mereka yang di depan ternyata juga disuruh mundur. Dan aku dan Nurrochman disuruh maju lagi. Waduh, jantungku langsung berdetak kencang, tak bisa diajak kompromi. Akhirnya akulah yang dipilih oleh ustadz.
Setelah puas kaget, aku pun berusaha menghadapinya dengan senang hati meski banyak kesulitan menghadang. Mempersiapkan diri untuk ujian amaliah tadris rasanya seperti belajar koprol. Dari meminta materi yang harus diajarkan pada ustadz, menulis RPP, hingga konsultasi berkali-kali. Belum lagi, nanti tampil disaksikan seluruh keluarga besar pondok. Namun aku yakin Allah bakal memberiku kejutan yang menyenangkan setelah ini.
Akhirnya tiba juga saat amaliah tadris perdana. Aku berusaha menampilkan kemampuan mengajarku sebaik mungkin. Namun baru mulai saja sudah ada kesalahan. Ada SOP mengajar yang kulakukan secara terbalik. Setelah bertanya pada murid, “Apa pelajaran kita sekarang?” Seharusnya aku menanyakan tanggal dulu, tetapi aku malah menanyakan, “Siapa pengajar asli kalian?”
Namun secara keseluruhan, aku cukup puas. Aku merasa plong sekali. Aku merasa penampilanku tidak memalukan.
Setelah itu, performaku dinilai oleh ustadz-ustadz pembimbing dan teman-teman. Aku ternyata mendapat banyak kritikan. Namun tak kusangka, meski mendapat lebih dari 50 kritikan, itu hanya kritikan minor, karena pembimbingku, Ust. Sunardi memberiku nilai 8,5. Setelah semua selesai, tinggal leganya. Apalagi mendapat nilai bagus.
Begitulah pengalamanku mengikuti ujian amaliah tadris perdana. Buat adik-adik kelasku yang akan merasakan hal yang sama sepertiku, aku berpesan, “Jangan minder dulu sebelum mencoba. Ternyata tak sesulit yang dibayangkan. Yang penting siapkan mental dan persiapkan diri sebaik mungkin.”
Terakhir, setelah lulus nanti, aku berharap bisa jadi qori internasional yang hafal 30 juz. Aku juga ingin menghadiahi orangtuaku mahkota yang bersinar melebihi sinar matahari. Terutama buat ibuku yang selalu mendukungku. Baik-baik selalu Ibu … Doakan anakmu ini agar bisa membanggakanmu dan membimbing lima adiknya. Hehe. (Ditulis oleh Ihya Ulumiddin dan diedit oleh Opik Oman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *