Pak Olim: Kyai Nahar Membantu Saya Mengangkat Meja

 

Kisah ini terjadi pada sekitar tahun 1990-an. Waktu itu saya masih berusia tiga puluhan. Seorang laki-laki yang bekerja di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam sebagai Bag. Tata Usaha. Saat itu, sudah ada KMI, tapi bukan KMI seperti sekarang. KMI dulu masih sekedar kegiatan ngaji sore yang diikuti oleh orang-orang dewasa yang ingin memperdalam ilmu agama. Beberapa orang yang saya ingat dulu pernah ngaji di KMI adalah Ust. Suwarto, Ust. Jumari dan Ust. Mulyono. Jumlah santri di Pondok, saat itu, berjumlah sekitar seratus orang. Bentuk sekolahnya pun masih berwujud madrasah aliyah (MA) hingga kemudian berganti menjadi KMI pada tahun 2003.

Saat itu, Pondok mendapat bantuan meja dan kursi dari seorang dermawan. Meja dan kursi itu didatangkan dengan mobil kemudian diturunkan di depan Masjid Al-Kahfi. Saya, sebagai petugas TU, segera tergerak untuk memindahkan perabotan itu ke tempat yang lebih terlindung. Yaitu di bagian belakang Pondok di gudang samping Lapangan Waro’a.

Karena waktu sudah sore, bahkan hampir maghrib, saya berusaha bekerja secepatnya. Beberapa santri juga membantu saya, tetapi tidak semuanya. Seandainya semua santri ikut membantu, bergotong-royong, tentu pekerjaan akan segera selesai. Namun hanya sedikit yang tergerak untuk melakukan pekerjaan yang bukan tugasnya. Memindah meja dan kursi itu tentunya tidak dianggap sebagai kewajiban oleh para santri. Sedangkan saya juga tak punya wewenang untuk menyuruh-nyuruh mereka.

Lalu tiba-tiba, Kyai Nahar keluar dari rumah beliau. Beliau melihat kesibukan saya dan beberapa santri. Tak lama kemudian beliau berjalan mendekati kami. Dan seperti yang saya perkirakan, beliau mulai mengambil satu buah meja, mengangkatnya, lalu membawanya ke gudang tanpa sungkan-sungkan.

Saya memang sudah memperkirakan apa yang akan beliau lakukan, karena saya mengetahui karakter beliau. Tetapi tetap saja itu membuat saya terkejut. Bahkan ketika di waktu-waktu yang lain, beliau melakukan hal semacam itu lagi, saya terus saja terkejut. Bagaikan melihat matahari. Saya tahu matahari itu akan menyilaukan jika dipandang. Tetapi pengetahuan itu tidak berarti apa-apa. Setiap kali melihat matahari, otomatis saya akan menutup mata.

Begitulah halnya ketika saya melihat Kyai Nahar dengan tanpa canggung membantu saya mengangkat meja. Saya tidak sanggup untuk tak melebarkan mata, membuka mulut, dan bengong untuk beberapa saat. Gestur fisik saya mungkin tak terlalu kentara, tetapi apa yang beliau lakukan meninggalkan kesan yang menghunjam dalam di sanubari saya. Saya terharu. Saya merasa dicintai, disayangi, dipedulikan dan diperhatikan. Saya hanya seorang pegawai TU, pun bukan guru, tetapi mendapat penghargaan yang begitu besar.

Ketika para santri melihat Kyai Nahar mengambil meja untuk membantu saya, mereka seakan tersengat. Tiba-tiba mereka merubungi perabotan itu. Bagaikan semut yang mendapatkan gula, mereka dengan semangat tinggi, beramai-ramai ikut memindahkan meja dan kursi ke gudang. Agaknya mereka tak rela atau malu, jika sampai Kyai Nahar bekerja sementara mereka berleha-leha. Dalam sekejap, pemindahan perabot itu selesai.

Setelah itu, kami melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Mungkin bagi Kyai Nahar, apa yang beliau lakukan sebelumnya adalah perkara biasa saja. Tetapi bagi saya dan para santri, gambaran beliau yang berjalan dengan mengangkat meja terlihat sangat dramatis. Membekas sangat dalam. Diobrolkan berkali-kali. Diingat sampai mati. Bahwa pada kyai yang seperti ini saya mengabdi. (End)

***

(Berdasarkan penuturan Ust. Yusuf Muslim
Diceritakan ulang dengan penambahan unsur dramatis oleh Opik Oman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *