Kyai Nahar Jadi Tempat Curhat Santri

(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Ust. Amin Zainuddin)

Sebagai seorang pimpinan pondok, Kyai Nahar merupakan seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan beliau betul-betul saya rasakan dulu. Saat itu saya masih menjadi seorang santri. Saya belum menjadi seorang ustadz dengan pengalaman mengajar selama belasan tahun seperti sekarang. Waktu itu, saya hanyalah remaja tanggung dengan darah muda yang bergelora dan mudah dibuat berombak.
Saya tidak terlalu ingat kapan kejadiannya. Namun itu terjadi saat saya menjadi pengurus OSTI. Jadi seharusnya sekitar tahun 2001. Saya duduk di kelas 5 KMI. Menjabat sebagai Bag. Keamanan OSTI selama beberapa waktu. Saya kemudian merangkap sebagai ketua OSTI setelah ketua yang sebenarnya, teman saya yang bernama Wawan, jatuh sakit.
Pada saat saya menjadi ketua itulah, OSTI berkonflik dengan seorang ustadz pengabdian baru. Beliau adalah, ustadz kami yang kami kasihi, Ust. Taufiq Shaleh, yang sekarang menjadi direktur KMI Putra.

Beliau alumni Pondok Modern Gontor. Saat itu, beliau masih muda, belum menikah dengan Usth. Nisa. Sebagaimana umumnya lulusan Gontor, beliau mempunyai kemampuan berbahasa Arab dan Inggris cukup lumayan. Oleh karena itu, beliau diberi amanah oleh pimpinan pondok untuk bertanggung jawab terhadap jalannya bahasa resmi di Pondok. Kalau sekarang, bisa disebut LP2QB. Namun waktu itu, pengurus bahasa dan Alquran belum digabung.
Begitu menerima mandat, Ust. Taufiq Shaleh segera bekerja keras membenahi penggunaan bahasa resmi di Pondok. Sayangnya, hal itu menimbulkan konflik dengan OSTI yang saya pimpin. Akar masalahnya adalah karena perbedaan kultur antara Ta’mirul Islam dan Gontor.
Waktu itu, pondok kita belum semaju sekarang. Sebagai pondok yang masih di tahap awal perkembangan, disiplin belum begitu ketat. Terutama untuk santri yang sudah menjadi anggota OSTI. Pengurus OSTI bertanggung jawab untuk menegakkan disiplin pada anggotanya. Namun siapa yang bertanggung jawab menegakkan disiplin pada pengurus OSTI? Tak mungkin pengurus OSTI menghukum temannya sendiri yang melanggar disiplin.
Di ceruk itulah Ust. Taufiq Shaleh masuk. Beliau menegakkan disiplin pada para pengurus OSTI yang tidak berbahasa resmi. Beliau membuat program-program bahasa yang wajib dilakukan oleh pengurus OSTI. Beliau juga menghukum pengurus OSTI yang melanggar peraturan.
Apa yang dilakukan Ust. Taufiq Shaleh menimbulkan kemarahan para pengurus OSTI. Waktu itu, kami merasa tidak dihargai. Kami tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Maka muncullah beberapa perlawanan dari kami. Yaitu dengan ngambek atau mutung, tidak mau menjalankan tugas-tugas kami sebagai pengurus OSTI, terutama yang berkenaan dengan penegakan bahasa.
Konflik antara kami dan beliau semakin lama semakin memuncak. Teman-teman yang lebih emosional mengajak untuk melawan, sementara beberapa yang lain mengingatkan bahwa ketaatan terhadap ustadz merupakan kewajiban. Saya sebagai ketua waktu itu, diminta untuk memutuskan. Apapun langkah yang saya ambil, mereka ikut.
Saya berada dalam dilema. Hingga akhirnya, dilema itu membuat saya memberanikan diri mengajak seluruh pengurus OSTI untuk menghadap Kyai Nahar. Tidak seperti sekarang, saat itu jumlah kami hanya delapan orang.

Peristiwa itu terjadi pada suatu siang di rumah beliau yang sekarang didiami oleh Kyai Adhim. Di hadapan beliau, kami menyampaikan keluh kesah kami mengenai Ust. Taufiq. Betapa kami merasa tidak dihargai ketika beliau menghukum kami.

Kyai Nahar mendengarkan kata-kata kami dalam diam. Beliau memang dari dulu pendiam. Hanya bicara seperlunya. Setiap apa yang keluar dari mulut beliau selalu ber-nas. Tidak sia-sia.
Setelah kami selesai bercerita, barulah beliau bicara. Beliau memberikan keputusannya. Beliau berbicara dengan tenang. Suaranya tidak tinggi maupun rendah.
“Baiklah… Saya sudah dengar. Sekarang, OSTI berjalan saja seperti biasa. Tidak usah mutung-mutung lagi. Yang penting taat. Apa yang diperintahkan oleh Ust. Taufiq, diikuti saja. Nanti kalau Ust. Taufiq terlalu over, saya yang akan menasehati.”
Nasehat Kyai Nahar cukup singkat. Bahkan sebenarnya tidak ada yang baru. Namun ketika beliau yang mengatakannya, kami merasa lega. Tidak ada lagi yang ingin melawan. Berganti dengan keinginan untuk mencoba taat.
Setelah itu, alhamdulillah, konflik kami dengan Ust. Taufiq berangsur surut. Malah akhirnya kami bisa saling mengerti keadaan masing-masing. Sekarang pun, hubungan kami baik-baik saja. Tidak ada masalah sama sekali.
Sekarang ini, ketika sudah belasan tahun menjadi ustadz, tentu saja saya tahu bahwa apa yang kami lakukan dulu salah. Mencoba melawan ustadz, menolak untuk taat, adalah hal yang tabu untuk dilakukan oleh seorang santri. Bisa menghilangkan keberkahan ilmu. Namun untuk memahami itu, tidak sekedar tahu, kadang butuh kedewasaan yang cukup. Itu yang mungkin belum kami miliki dulu. Sehingga marah ketika Ust. Taufiq mencoba menegakkan disiplin.
Alhamdulillah, Kyai Nahar mampu meredam kami waktu itu. Apa yang beliau sampaikan adalah hal yang standar. Bahwa kami harus menjalan tugas kami sebagai pengurus OSTI. Bahwa kami harus taat dan menjalankan perintah ustadz. Namun cara penyampaian beliau lah yang meluluhkan hati kami.
Beliau tidak memarahi saya. Malah mau mendengar keluhan saya. Padahal bisa saja beliau murka melihat tingkah kami yang berani berbondong-bondong menghadap hanya untuk memprotes cara penegakan disiplin di pesantren yang beliau pimpin. Beliau bisa saja berteriak, “Kalau tidak mau didisiplinkan, minggat saja!” Namun beliau tidak melakukan itu.
Bahkan beliau menenangkan hati kami dengan berkata bahwa beliau yang nanti akan menasehati Ust. Taufiq Shaleh. Hanya dengan kata-kata itu, tiba-tiba kami merasa tenang. Hal ini membuat kami teringat bahwa Ust. Taufiq Shaleh adalah kepanjangan tangan Kyai Nahar. Menentang beliau, sama saja menentang Kyai Nahar. Dan jika kami percaya dan yakin pada Kyai Nahar, maka seharusnya kami ikhlas dan ridho untuk dididik dan didisiplinkan oleh para ustadz yang dipilih oleh Kyai Nahar untuk menjadi pembantu-pembantunya dalam menjalankan peraturan di pesantren.
Bagi saya, itulah kebijaksanaan. Mampu melakukan hal yang tepat di situasi yang tepat. Sehingga masalah tidak menjadi tambah rumit, bahkan langsung terselesaikan. Saya terus belajar untuk menjadi ustadz seperti beliau, namun rasanya, sekarang ini, seujung kuku pun saya belum sampai di derajat beliau.
(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Ust. Amin Zainuddin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *