Di Mana Qur’ānmu?

Hamdan Maghribi, Lc (Dosen UIN Surakarta)

Tanpa bermaksud untuk berapologi dengan kejayaan masa lalu umat Islam, mari sejenak kita menoleh kepada lembaran-lembaran sejarah silam dimana tinta emas tertoreh pada lembar peradaban Islam yang gemilang. Bukan hanya karena luasnya wilayah pemerintahan namun juga sumbangan berharga kepada peradaban manusia yang menurut Seyyed Hossein Nasr mencakup segala bidang ilmu pengetahuan. Sungguh diluar jangkauan nalar logika manusia, sebuah peradaban yang gemilang bisa muncul dari tengah gurun pasir gersang berpenduduk masyarakat yang gemar berperang. Peradaban yang bukan hanya berperan bagi umat Islam, tapi juga membangkitkan dunia Barat dari kegelapan!

Kenyataan tersebut membuat geram para musuh Islam, sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk memutar balikkan fakta dari yang paling santun hingga brutal. Tak heran bila kajian orientalis klasik bertabur sinisme dalam menggambarkan Islam. Namun bagaimanapun juga kebenaran mustahil untuk ditutupi sehingga perlahan ada pergeseran opini mengenai Islam. Sehingga tak jarang para orientalis tersebut pada akhirnya dengan bangga menyatakan keislamannya. Munculnya berbagai kajian dan penelitian yang objektif terhadap Islam merupakan bukti signifikan atas pergeseran tersebut. Dipenghujung abad dua puluh kajian-kajian Islam yang objektif bermunculan hingga sekarang.

Memang Allah telah berjanji akan keunggulan kebenaran atas kebatilan, namun bukan berarti kita menjadi lupa diri. Masih banyak yang harus kita perbuat untuk mewujudkan janji tersebut. Kenyataan bahwa umat Islam merupakan umat yang paling terbelakang saat ini harus diakui. Kita mampu bangkit bila kita menyadari keunggulan ajaran-ajaran Islam.

Luka yang ditimbulkan sistem kapitalisme yang dahulu dipuja-puja terbukti tidak bisa menjadi solusi krisis kemanusiaan, sosialisme dan komunisme yang digaungkan sebagai alternatif pengganti, tak jauh lebih baik bahkan punya dampak yang lebih buruk, nah sekarang mampukah kini kita menawarkan Islam sebagai solusi mujarab? sebelum menjawabnya muncul pertanyaan, bagaimana bisa kita mengajukan Islam sebagai alternatif sedangkan kita umatnya tidak yakin dengan Islam?. Sejarah membuktikan bagaimana Islam sebagai ajaran baru waktu itu yang selalu dicemooh dan dimusuhi oleh para bangsawan arab, pemeluknya disiksa bahkan dibunuh namun kemudian berubah menjadi alternatif dan solusi dari segala keruwetan dan dekadensi moral arab jahilyah masa itu bahkan setelah Islam menyebar keberbagai wilayah semakin jelas wujud kontribusi Islam sebagai solusi krisis peradaban waktu itu.

Sudah saatnya kita menyodorkan Islam sebagai alternatif, namun hal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa usaha yang proporsional dalam menggali ‘nilai lebih’ ajarannya, mengangkatnya dalam realitas dan menawarkannya kepada umat manusia. Nilai-nilai tersebut akan kita dapatkan dengan membaca dan mempelajari Al-qur’an. James A Minchener perah menulis “the qur’an is probably the most often read book in the world” kegairahan membaca Al-qur’an bagi umat Islam sangatlah baik. Banyaknya sistem pembelajaran membaca Al-qur’an, perlombaan membaca Al-qur’an dan kompetisi tahfidz qur’an semakin membenarkan tesis Michener tadi. Namun ada satu hal penting yang perlu diingat, fungsi Alqur’an bukan hanya sekedar ‘bacaan’ (meski tidak dipungkiri membacanya merupakan ibadah). Al quran sendiri telah menjelaskan secara gamblang bahwa ia juga berfungsi sebagai al-furqān (pembeda yang baik dan buruk) al-żikr (peringatan) al-hudā (petunjuk) dan lainnya. Untuk mencapai fungsi tersebut tidak cukup sekedar bacaan yang indah dan mendayu-dayu tetapi juga membutuhkan kemampuan untuk memahami isinya, menangkap isyarat, tafsir dan maknanya. Di sini kekuatan logika dan berbagai disiplin ilmu dibutuhkan guna mengangkat nilai lebih yang terkandung dalam Al-qur’an. Bukankah pernemuan-penemuan menakjubkan para ulama klasik kita bermula dari perenungan kitab suci dengan akal?

Inilah tugas terpenting. Bisa saja kita meneriakkan kebangkitan Islam tapi bila tanpa disertai kesiapan diri dalam menawarkan ajaran Islam yang kita petik dari Al qur’an sebagai solusi, usaha kita akan sia-sia.

Tradisi klasik umat Islam dalam mencari ilmu harus kembali dihidupkan. Ilmu harus dihargai lebih dari apapun. Ulama harus diletakkan pada posisinya. Pemimpin haruslah dipilih atas dasar ilmunya bukan harta atau pangkatnya, karena bila kepemimpinan diserahkan kepada sosok yang jahil dan munafiq maka kemurnian Islam akan ternoda. Bukankah Sang Baginda Rasūlullāh pernah bersabda, “bila suatu urusan diberikan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya.”

Konon Rasūlullāh sering meminta ‘Abd Allāh ibn Mas‘ūd untuk membaca al-Qur’ān dihadapan beliau. Tapi sebelum selesai bacaan tiap ayatnya air mata sudah mengalir dari mata beliau. Karena beliau mampu menangkap makna dan kandungan dari ayat-ayat yang dibaca tersebut. Beliau bersyukur dan bangga karena dirinya dan umatnya dikaruniai Allāh kitab yang sarat dengan ajaran dan pengetahuan untuk menuju kebahagiaan yang abadi dunia akhirat.

Segala bentuk ilmu merupakan ilmu Allāh dan ilmu bukanlah sekedar ilmu agama, karena al-Qur‘ān pun mengakuinya, ia tidak hanya berisi ajaran-ajaran bagaimana menghadapi hidup diakhirat, namun juga berbagai ajaran dan tuntunan untuk hidup di dunia. Tak salah kalau kita merenungi tulisan H.R. Gibb dalam whiter Islam yang berbunyi ” Islam is indeed much more than a system theology but it is complete civilization”

Marilah kita membaca al-Qur‘ān yang bukan sekedar membaca, tapi membaca dan juga mengambil nilai dan makna kemudian mengamalkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *