Cerpen Santri: Janji

Oleh: Zaenab Al-Jizawi (1A KMI)

“Janji lho, ya. Besok, jadi ke rumahku.” Aku mengingatkan.

“Iya, aku juga mau ketemu adikmu,” ujar Arina.

***

“Duh, udah jam sepuluh kok belum dateng, ya, Arina?” Aku cemas.

“Mila, Ayah sama Aya mau ke rumah Tante Ulfa. Kamu ikut, nggak?” Tawar Ayah.

“Gimana, ya, Yah… Arina udah janji mau ke sini, tapi dia belum dateng,” jawabku.

Jujur, aku ingin ikut, karena Tante Ulfa memiliki kucing, dan kucing tersebut baru saja melahirkan. Aku sangat ingin melihat anak kucingnya.

“Ya sudah. Ditunggu dulu saja. Ayah duluan, ya…” Ayah dan Aya pergi menuju rumah Tante Ulfa.

Ting!

Baru beberapa menit setelah Ayah pergi, ada notifikasi dari smartphone Ibu. Setelah kubuka, ternyata itu adalah chat dari Arina. Ternyata dia tidak jadi datang ke rumahku, karena dia diajak jalan-jalan oleh teman lain.

“Ah, tau gini, aku tadi ikut Ayah.” Aku menutup smartphone milik Ibu sambil merengut sebal.

Aku lalu mengambil sepedaku.

“Mau ke mana, Mil?” Tanya Ibu.

“Jalan-jalan,” jawabku singkat.

“Hati-hati! Jangan jauh-jauh!” Pesan Ibu.

Lalu aku berpamitan pada Ibu dan pergi.

“Hhhh… udah ditungguin hampir dua jam, ternyata nggak jadi dateng.” Aku menggerutu dalam hati.

“Besok, bales juga, ah. Biar dia ngerasain apa yang aku rasain.” Aku tersenyum licik.

***

“Arina, besok, aku ke rumahmu, ya? Aku udah bilang sama Ayah. Jam sembilan, bisa kan?” Tanyaku.

“Oh, bisa dong,” jawabnya.

“Kamu ada di rumah kan?” Aku memastikan.

“Iya,” tanggapnya.

“Janji lho. Nanti kamu nggak di rumah, padahal aku udah ke rumahmu.” Aku memajukan mulut.

“Iya, iya. Janji…”

***

“Mila, jadi ke rumah Arina, nggak?” Tanya Ayah.

“Nggak. Ngapain? Dia dulu janji juga dilanggar.”

“Lho, terus sekarang mau balas dendam, gitu?” Tanya Ayah.

“Ya iyalah. Nyebelin, Yah. Ditunggu lama malah nggak dateng,” jawabku.

“Mila, mungkin Arina waktu itu memang bener-bener nggak bisa. Mungkin ada yang lebih penting. Atau apalah… Jangan balas dendam kayak gini. Balaslah keburukan dengan kebaikan.” Ayah mengelus kepalaku sambil memberi nasihat.

“Eng, oke deh, Yah. Aku siap-siap dulu. Terus langsung anter ke rumah Arina, ya, Yah!”

Aku mengambil tas kecilku dan mengenakan kaos kaki.

***

Maaf, ya, Arina, aku terlambat,” kataku begitu Arina mempersilakanku masuk.

“Maaf juga, tadi ada niat buat nggak dateng,” lanjutku.

“Nggak apa-apa, kok. Agak sebel sih, tapi kemarin kamu malah nunggu lebih lama.” Arina tersenyum.

“Kemarin, waktu aku sudah mau berangkat ke rumahmu, aku diajak teman membeli kado buat kakaknya. Awalnya aku nggak mau. Tapi dia kelihatan kasihan. Calon adiknya baru saja keguguran. Dan kakaknya selalu murung sejak kehilangan calon adik.” Arina berhenti sebentar dan mengambil napas panjang.

“Aku nggak bisa langsung memberitahumu karena handphone-ku ketinggalan di rumah,” lanjut Arina.

“Jadi sekarang kita impas, ya? Sama-sama nunggu lama,” kataku polos.

“Ahaha, iya. Maaf ya, yang kemarin,” ujar Arina.

“Ya, maaf juga, ya…”

Karena janji adalah hutang yang tidak bisa dibayar dengan apapun kecuali dengan menepatinya. (Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *