Cerpen Santri: Hidayah Tak Terduga

Oleh: Sofiy Zaini Al-Irfani

Suara gaduh dari kamar sebelah mengganggu tidurku. Seperti malam-malam sebelumnya selalu terdengar suara gaduh, entah benda jatuh, teriakan, dan yang paling memuakkan adalah tawa ramai yang membangunkanku. Sudah seminggu aku menempati kos baru ini tapi malamnya tak bisa tidur nyenyak. Karena kepenatan kuliah sore tadi, aku pun tertidur kembali.
***
Pagi ini seperti biasa, aku hendak mendatangi rumah pamanku. Seperti biasa pula, di halaman kos terlihat banyak sepeda motor terparkir. Kamar kos ini memang terletak agak tersembunyi. Lima ratus meter dari komplek ini terdapat pemakaman umum. Karena itu, harga kamar relatif murah. Meski begitu, aku harus sering bersabar karena setiap pagi motor matic-ku terhimpit begitu banyak sepeda motor lainnya. Entah milik siapa. Anehnya, sepulang kuliah, pukul 21.30, semua kendaraan tadi menghilang.
Dengan usaha yang cukup melelahkan, aku berhasil mengeluarkan motorku. Aku pun segera berangkat menuju tujuan.
***
“Andri, kenapa kamu terlambat?” Tanya Pakde.
“Iya, Pakde. Habis motorku tadi kejebak di parkiran kos. Sulit dikeluarkan.” Jawabku.
“Ya sudah. Sekarang segera bantuin Pakde ngantar pesanan.”
Aku sudah biasa mengantar kerupuk buatan Pakde ke para pedagang eceran. Karena jadwal kuliahku hanya sore dan malam hari, paginya kuputuskan bekerja membantu Pakde. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi cukuplah untuk tambahan uang jajan.
Kali ini, agak jauh dari rumah Pakde, setelah putar-putar kesana kemari, aku berhenti di sebuah warung makan sederhana langganan kerupuk Pakde. Tak disangka, sedang terjadi pertengkaran di sana. Karena suara kedua orang itu terdengar cukup keras dari luar.
“Le, kamu itu sebenarnya ke mana, tho? Pulang seminggu sekali, kalo di rumah cuma sebentar.” Seorang ibu yang sudah agak tua bertanya kepada seorang pemuda berjaket kulit.
“Halah, Bu, nggak usah dipikirkan! Aku sudah besar. Sudah bisa hidup mandiri.” Pemuda itu membentak.
“Tapi setidaknya kasih tahu Ibu, ke mana saja sebenarnya kamu selama ini?” Suara si Ibu mulai memelas.
Bu! Dengerin Anto! Kalo Ibu tanya terus. Tanya ini itu. Lebih baik Anto nggak pulang sekalian.”
Setelah bicara seperti itu, pemuda yang menyebut dirinya Anto tadi pergi meninggalkan ibunya. Setelah itu aku masuk ke dalam warung. Meski sempat menangis, ibu itu segera mengusap air matanya dan tersenyum padaku.
“Mau sarapan, Mas?” Si Ibu bertanya padaku.
“Eh, ehm, enggak, Bu. Saya cuma mau antar kerupuk saja, kok.”
“Oh, iya. Kerupuknya Pak Sholeh, ya…”
“Iya, Bu.” Jawabku.
“Kok bukan yang biasanya mengantar?” Kata si Ibu sambil mengambil seplastik kerupuk yang kuulurkan padanya.
“Kurang tahu, Bu. Mungkin yang biasa ke sini lagi sakit. Saya cuma kerja part time. Disuruh ke sini, ya saya ke sini.”
“Oh, begitu…” Tanggap si Ibu. Sisa pertengkaran tadi tak lagi tampak di wajahnya.
Aku hanya sebentar di warung itu. Setelahnya, aku meneruskan pekerjaanku mengantarkan pesanan kerupuk. Kebanyakan adalah warung-warung makan. Maklum, kerupuk buatan Pakde menggunakan bahan yang berkualitas, sehingga banyak peminatnya. Akhirnya, pekerjaanku selesai. Sebelum tengah hari, aku sudah pamit pada Pakde untuk pulang ke kosku.
Setelah sampai di kos, betapa terkejutnya aku melihat banyak polisi di sana. Ternyata mereka sedang melakukan penangkapan terhadap penghuni kamar di sebelah kamarku. Yang selama ini selalu menimbulkan suara gaduh ketika malam. Lagi-lagi aku dibuat terkejut terhadap apa yang kulihat. Ternyata orang yang ditangkap itu adalah pemuda berjaket kulit yang kulihat bertengkar dengan ibunya di warung tadi. Kalau tak salah namanya Anto. Setelah coba tanya-tanya sana sini, tahulah aku bahwa dia terlibat kasus peredaran narkoba.
***
Sudah tujuh tahun lebih berlalu sejak kejadian itu.
Sepulang dari kantor kuputuskan untuk mendatangi pengajian rutin di masjid. Ustadz yang mengisi ceramah kebetulan cukup terkenal. Sesampainya di sana, suasana sudah ramai. Banyak orang lalu lalang. Aku juga segera bergegas masuk masjid untuk mencari posisi duduk yang nyaman.
Dugh! Seseorang menabrakku. Aku juga tak melihat. Jadi sebenarnya kami bertabrakan.
“Maaf,” kata kami berbarengan.
Kami saling pandang. Aku pun segera mengenalinya. Aku tak pernah lupa wajahnya saat dibawa polisi dengan borgol membelenggu tangannya. Rasa terkejut melihat dia di masjid berganti dengan rasa penasaran.
“Anto, kan?” Tanyaku.
Anto terkejut. “Mas ini, siapa ya? Kok tahu nama saya?”
“Saya Andri. Tetangga kos Anda. Hmm… mungkin sekitar tujuh tahun lalu. Kita tak saling kenal, sih, sebenarnya. Hanya saja, saya ingat Anda karena, maaf, dulu Anda ditangkap polisi.”
Setelah itu, Anto pun bercerita bahwa setelah keluar dari penjara, dia bertemu dengan seorang ustadz yang memberinya pencerahan tentang hidup. Subhanallah. Sungguh kuasa Allah. Ternyata seseorang yang awalnya begitu buruk ternyata bisa berubah seratus delapan puluh derajat.
“Allah memberi petunjuk kepada siapa pun yang dia kehendaki untuk meniti jalan yang lurus.”
(Tamat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *