Cerita tentang Tanah Para Wali

Nama saya Hasan Ali Assyafi’i. Lahir di Solo pada tanggal 21 April 1996. Saya adalah salah satu santri di PPTI. Walaupun saya sudah lulus dari KMI pada tahun 2015, tetapi sekali santri tetaplah santri. Banyak hal yang saya dapatkan selama menempuh pendidikan di PPTI. Di sana saya dibekali banyak kemampuan dasar dalam bidang bahasa dan agama. Kedua hal itulah yang mengantarkan saya untuk melanjutkan pendidikan di luar negri. Tepatnya di Universitas Al Ahgaff, Yaman.

Universitas Al Ahgaff adalah sebuah uniersitas swasta yang didirikan pada tahun 1995 oleh Alm. Sayyidil Habib Mahfudz Al Haddad. Universitas ini terletak di kota Tarim, provinsi Hadramaut. Sebuah kota yang terkenal dengan sebutan tanah seribu wali. Baru setahun mendirikan, Habib Mahfudz Al Haddad meninggal dunia. Posisi beliau kemudian digantikan oleh murid kepercayaan beliau, Habib Prof. dr. Abdullah Baaharun. Beliau masih memimpin Al Ahgaff hingga saat ini.

Universitas Al Ahgaff menggunakan metode tradisional membaca kitab kuning. Metode ini dikenal sebagai metode salafussolihin yang telah dipraktekkan selama ribuan tahun dan terbukti menelurkan banyak ulama kompeten. Para dosen di Al Ahgaff terdiri dari para mufti dan hakim dan alumni Al Ahgaff yang ditunjuk langsung oleh rektor.
Motivasi saya menempuh pendidikan di sana adalah karena munculnya rasa penasaran yang tinggi untuk hidup di negri orang dan berkumpul bersama orang-orang sholeh. Saya merasa bosan dan suntuk untuk melanjutkan pendidikan di negri sendiri. Saya menginginkan tantangan baru dan mencoba keluar dari zona nyaman.

Awal mula cerita saya bisa masuk ke Al Ahgaff dimulai ketika acara khotaman di PPTI. Waktu itu Habib Umar Mutohar diundang untuk mengisi tausiah. Pada satu kesempatan, beliau bertanya kepada saya, “Sekarang kelas berapa?” Saya menjawab, “Sudah mau kuliah, Bib.” Beliau bertanya kembali, “Mau kuliah di mana?” Saya menjawab, “Saat ini sedang coba mendaftar di Jogja, Bib.” Beliau segera menyergah, “Batalkan! Ganti saja. Sekolah di Al Ahgaff, Yaman, mau atau tidak?” Mendengar perintah itu, saya cuma manggut-manggut. Beliau kemudian memberi saya informasi pendaftarannya.

Setelah berhasil masuk ke Al Ahgaff, saya merasakan betul bahwa pendidikan yang saya dapat di PPTI sangat membantu saya, terutama dalam hal komunikasi. Karena setiap hari di PPTI sudah terbiasa berbahasa Arab dan Inggris, saya tidak menemui banyak kesulitan dengan penduduk setempat. Dibanding dengan teman-teman non-pondok-modern, saya beradaptasi lebih cepat. Selain itu, karena di PPTI saya cukup aktif di kegiatan pramuka, saya dipercaya menjadi pemimpin upacara kemerdekaan Indonesia yang diadakan oleh PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Yaman.

Menempuh pendidikan di Al Ahgaff mirip dengan bersekolah di pesantren pada umumnya. Di sana saya berangkat kuliah jam delapan pagi dan pulang jam dua belas siang. Setelah itu adalah waktu bebas. Kami, para mahasiswa, diperbolehkan melakukan kegiatan apa pun. Kami dianggap cukup dewasa untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Meskipun banyak waktu bebas, namun kebanyakan dari kami menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Hal itu disebabkan karena kondisi Kota Tarim yang mendukung. Sebagaimana julukan kota ini sebagai tanah seribu wali, semua orang menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Di sana, ke mana pun mata memandang, selalu terlihat kebaikan-kebaikan. Tidak terlihat maksiat di sudut mana pun. Kota Tarim diberi gelar oleh UNESCO sebagai kota peradaban ilmu Islam. Bahkan Habib Muhsin bin Sihab pernah menyebut kota ini sebagai kota ibadah, kota dzikir, kota ilmu, kota sholawat, dan kota berkah. Habib Abdullah Alwi Al Haddad juga pernah berkata bahwa jalan-jalan di Kota Tarim adalah guru bagi siapapun yang tak punya guru.
Begitulah kesan-kesan saya selama belajar di Kota Tarim.

Untuk adik-adikku santri PPTI, saya berpesan. Selalu kirimkan doa dan Alfatihah untuk para guru-guru kalian. Cintailah para guru. Pandanglah mereka dengan pandangan khusnudzon dan penuh sayang. Mencintai guru adalah kewajiban seorang murid. Dicintai oleh guru lebih penting lagi untuk diusahakan. Murid bisa saja menjadi lebih berilmu dari gurunya, tetapi dia tidak akan bisa menjadi lebih mulia dari gurunya.

(Ditulis oleh Opik Oman berdasarkan wawancara dengan Hasan Ali)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *